KEPANIKAN MASYARAKAT DI TENGAH PANDEMI COVID-19
KEPANIKAN MASYARAKAT DI TENGAH
PANDEMI COVID-19
Fenomena kepanikan masyarakat seperti panic buying terjadi
di tengah masyarakat Indonesia sejak diumumkan adanya pasien positif virus
Corona covid-19 oleh Presiden Joko Widodo. Banyak masyarakat tidak dapat
mengontrol kepanikannya dengan memborong bahan makanan, masker, hand sanitizer
dan aneka kebutuhan lainnya. Kepanikan masyarakat terkait kasus pasien positif
virus covid-19 disebabkan masyarakat telah mengikuti perkembangan informasi
kasus covid-19 melalaui internet namun masyarakat kurang mendapatkan informasi
yang jelas dari pemerintah. Oleh karena itu panic buying merupakan suatu
reaksi kepanikan masyarakat yang sedang berusaha mengamankan diri dari dampak adanya
virus covid-19.
Pada mulanya, tindakan pemerintah dalam merespon kasus virus covid-19
dinilai kurang maksimal, karena minimnya informasi tentang jumlah pasien,
penanganan dan lokasi penyebaran virus covid-19. Berbagai kalangan masyarakat
mengharapkan transparansi dari pemerintah terkait pandemi tersebut, sebab untuk
mengatasi pandemi ini dibutuhkan kejujuran agar tindakan pencegahan dan penyebaran
virus covid-19 dapat diatasi dengan bijak. Kurangnya transparansi mengenai
virus covid-19 hanya meningkatkan kepanikan masyarakat di tengah pandemi yang
berkembang dan sempat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Berbeda dengan China, sebagai negara tempat virus covid-19 pertama
kali muncul telah melakukan upaya yang sangat agresif untuk mengatasi jumlah kasus
virus covid-19 yang meningkat sangat cepat, yaitu dengan lockdown. Dengan
upaya lockdown ini masyarakat China khususnya Wuhan tidak dapat bergerak
bebas dalam melaksanakan aktivitas, sehingga berakibat buruk dalam sektor
perekonomian. Namun upaya ini dinilai berhasil, karena dua bulan setelah lockdown
negara China mengumumkan telah berhasil melewati puncak pandemi virus corona
jenis baru tersebut. Kemudian upaya lockdown sedang dilakukan juga oleh
negara-negara yang tengah berjuang menghadapi virus covid-19 seperti Italia dan
Filipina.
Upaya China dalam mengatasi kasus virus covid 19 bukan lockdown saja, namun pemerintah China juga memanfaatkan
teknologi dengan menciptakan sistem pengawasan massal untuk melacak kontak masyarakat
yang terinfeksi. Selain itu, pemerintah China membuat aplikasi untuk memberi
kode warna berdasarkan kesehatan seseorang dan rute perjalanan sebagai upaya
mengontrol perjalanan setiap orang.
Hubungan Teori Simulacra terhadap Kepanikan Masyarakat
Baudrillard mendefinisikan simulasi sebagai proses penciptaan
bentuk nyata melalui model-model yang tidak ada asal-usul atau referensi
realitasnya, sehingga membuat manusia selalu merasa berada dalam dunia
supernatural, ilusi, fantasi, dan khayalan yang menjadi tampak nyata.
Baudrillard berpendapat bahwa dunia ini telah kehilangan keasliannya dan yang
ada hanyalah simulasi. Simulasi merupakan dunia yang terbentuk dari hubungan
berbagai tanda dan kode, tanpa ada referensi yang jelas. “Simulation is no longer that of a territory, a referential being, or a
substance. It is the generation by models of a real without origin or reality:
a hyperreal.” Kode membuat simulasi menjadi penting, karena kode memungkinkan
kita untuk menghilangkan realitas,
dan hal ini dapat terlihat pada simulasi dan simulacra.
Teori simulacra menjelaskan bahwa simulasi hadir hanya mengacu pada
dirinya sendiri dan melampaui realitas aslinya. Dalam kasus pandemi ini, media
mempunyai suatu peranan penting dalam penyebaran realitas yang nantinya akan
dikonsumsi oleh masyarakat. Karena, media dapat menjadi alat yang sangat
berpengaruh dalam membangun imajinasi masyarakat terhadap pandemi yang sedang
terjadi. Seperti fenomenan panic buying yang terjadi di masyarakat
Indonesia disebabkan sebelum adanya penyebaran covid-19 di Indonesia,
masyarakat Indonesia sudah mengikuti perkembangan informasi virus covid-19 yang
menyerang China terlebih dahulu. Adanya upaya lockdown oleh pemerintah
China, membuat imajinasi masyarakat menganggap bahwa pemerintah Indonesia akan
melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, panic buying dilakukan oleh
masyarakat guna memenuhi kebutuhan hidupnya untuk beberapa waktu kedepan.
Padahal, pemerintah Indonesia belum memberikan kebijakan yang sama seperti
kebijakan pemerintah China.
Hubungan Teori Hipperrialitas terhadap Kepanikan Masyarakat
Menurut Baudrillard, hipperealitas
menghapuskan perbedaan antara yang nyata (real)
dan yang imajiner. Hiperrealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya
terdapat kepalsuan dan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur dengan masa
kini; tanda melebur dengan realitas; dan fakta bersimpang siur dengan rekayasa.
Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan
tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu, sehingga membentuk kesadaran
diri (self consciousness) yang pada
dasarnya palsu.
Sebagai contoh reporter TV One yang menggunakan masker respirator
saat melakukan live report dari Depok justru memicu kekhawatiran yang
berlebihan di masyarakat. Masyarakat berbondong-bondong membeli masker sampai setok masker sangat minim, dan
lebih parahnya kondisi kepanikan ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggungjawab dengan menjual masker dengan harga yang sangat tinggi. Lebih
anehnya lagi, di media sosial beredar beberapa masyarakat memakai atribut APD
ketika berbelanja di swalayan. Padahal pihak medis yang menjadi garda terdepan
dalam mengatasi pandemic ini sedang membutuhkan APD yang semakin langka.
Ternyata epidemic kepanikan menghambat proses penanganan pandemic tersebut.
Adapun sajian media terhadap penyebaran virus covid-19 yang sangat
cepat dan belum ditemukan vaksinnya, membuat masyarakat merasa panik dan tidak
menerima jenazah korban covid-19. Fenomena penolakan jenazah korban covid-19 menunjukkan
telah runtuhnya rasa kemanusiaan di tengah masyarakat. Mayoritas masyarakat
belum bisa menempatakan posisinya jika mereka ada di pihak keluarga korban covid-19.
Padahal yang dibutuhkan dari penyelesaian atas pandemic ini adalah humanisme yang
tinggi yang harus diwujudkan melalui kerja sama antara pemerintah dan masyarakat.
Upaya penyelesaian dan pencegahan pandemic tidak akan maksimal jika tidak
adanya kerja sama antar seluruh lapisan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar