PENGUCAPAN SELAMAT HARI NATAL BAGI UMAT MUSLIM, IKUT ARUS ATAU TETAP MELAWAN ARUS?
Oleh: Fina Mawahib
Hukum mengucapkan "Selamat Natal" dalam Islam adalah topik sensitif yang sering dibahas di kalangan ulama dan umat Muslim. Seorang Muslim seharusnya mampu menjalin hubungan yang harmonis, menghormati, dan bersikap adil terhadap non-Muslim yang bersikap damai, tidak menunjukkan permusuhan, dan tidak mengancam kehidupan beragama maupun tempat tinggal umat Islam. Islam sangat menganjurkan terciptanya perdamaian dalam hubungan antar sesama manusia.
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨ اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Mumtahanah : 8-9
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini menyampaikan bahwa Allah SWT memperbolehkan umat Islam untuk berbuat baik kepada pemeluk agama lain, selama mereka tidak memerangi kaum Muslimin. Hal ini termasuk berbuat baik kepada wanita dan orang-orang lemah di antara mereka. Manusia dianjurkan untuk bersikap baik dan adil, karena Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Dua ayat tersebut membedakan antara non muslim yang memiliki sikap damai (dzimmiy), dan sikap memerangi (harbiy). Yusuf Al-Qardlawi menjelaskan kepada non muslim dzimmiy, Al-Qur’an mengajarkan agar kita berbuat baik (al-birr) dan bersikap adil (al-qisth) kepada mereka. Al-birr itu melebihi keadilan itu sendiri. Adil (al-qisth) adalah kita mengambil hak kita, sedangkan kebaikan (al-birr) adalah kita memberikan sebagian hak kita. Adil (al-qisth) adalah memberikan hak orang lain tanpa dikurangi sedikitpun, sedangkan kebaikan (al-birr) adalah menambah kebaikan terhadap orang lain.
مسند أحمد ٢٥٧٠٢: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ يَعْنِي عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَقِيلٍ الثَّقَفِيَّ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ أُمِّهِ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي فِي مُدَّةِ قُرَيْشٍ مُشْرِكَةً وَهِيَ رَاغِبَةٌ يَعْنِي مُحْتَاجَةٌ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ عَلَيَّ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُهَا قَالَ صِلِي أُمَّكِ
Musnad Ahmad 25702: Telah menceritakan kepada kami Abu Nadlr Hasyim bin Al Qasim berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Aqil -yakni Abdullah bi Aqil As Tsaqafi- berkata: telah menceritakan kepada kami Hisyam berkata: telah mengabarkan kepadaku Bapakku dari Ibunya Asma' binti Abu Bakar dia berkata: "Ibuku datang kepadaku saat ia masih dalam keadaan menyembah berhala, di masa perjanjian dengan Quraisy, ia sangat butuh denganku (kangen), maka aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, aku katakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah datang kepadaku sedangkan dia masih musyrik, apakah aku boleh bersillaturrahmi dengannya?" Beliau bersabda: "bersilaturrahmilah pada ibumu."
Pendapat ini semakin kuat jika kita mempertimbangkan pentingnya mendekatkan hati mereka kepada Islam dan menciptakan rasa cinta terhadap umat Islam. Upaya tersebut tidak akan berhasil jika kita saling menjauh atau menghindar satu sama lain. Mengucapkan selamat tidak berarti mengakui atau meridhai agama mereka, melainkan hanya sekadar ungkapan penghormatan yang lazim dalam interaksi antar manusia. Demikian pula, menerima atau memberikan hadiah juga tidak ada salahnya, selama hadiah tersebut bukan sesuatu yang diharamkan seperti minuman keras atau daging babi. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah menerima hadiah dari non-Muslim, seperti hadiah dari Muqauqis, seorang pembesar Koptik.
Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa merayakan hari raya agama lain memang tidak diperbolehkan, karena umat Islam memiliki hari rayanya sendiri, begitu pula umat agama lain. Namun, beliau berpendapat bahwa mengucapkan selamat hari Natal kepada kerabat, tetangga, rekan, atau dalam konteks hubungan sosial yang memerlukan kasih sayang dan hubungan baik, serta sesuai dengan tradisi yang benar, adalah hal yang diperbolehkan. Dalam konteks zaman sekarang, dengan kompleksitas hubungan antarmanusia dan kebutuhan umat Islam untuk berinteraksi dengan non-Muslim, menampilkan wajah Islam yang ramah, penuh kabar gembira, dan tidak menakutkan menjadi semakin penting. Mengucapkan selamat Hari Raya Natal bukanlah bentuk persetujuan terhadap akidah atau keyakinan mereka, melainkan cerminan sikap toleransi, terutama di negara dengan keberagaman agama dan kepercayaan. Namun perlu digarisbawahi, toleransi antarumat beragama berbeda dengan toleransi dalam beragama.
Quraish Shihab mengatakan dalam konteks interaksi sosial dan menjaga keharmonisan hubungan, Al-Qur'an memperkenalkan bentuk redaksi yang memungkinkan lawan bicara memahami ucapan tersebut sesuai dengan keyakinan atau pandangannya, meskipun maksud dari pengucapnya berbeda. Hal ini mencerminkan kebijaksanaan, di mana pengucap tetap berpegang pada keyakinannya sendiri. Salah satu contohnya dapat dilihat dalam QS Saba' (34): 24-25.
Jika non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan keyakinannya, biarkan hal itu terjadi, karena seorang Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan pandangan imannya. Kearifan sangat diperlukan dalam interaksi sosial semacam ini. Dalam perspektif ini, fatwa yang melarang pengucapan tersebut dapat dimaklumi jika ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan terganggu akidahnya. Namun, tidak salah pula bagi mereka yang membolehkannya, asalkan dilakukan dengan kebijaksanaan dan tetap menjaga akidah. Terlebih lagi, jika ucapan tersebut dimaksudkan untuk mendukung keharmonisan hubungan.
Para ulama’ yang cenderung mendukung pandangan yang membolehkan ucapan "Selamat Natal" karena berlandaskan pada kaidah induk al-umūr bi maqāsidihā (segala sesuatu tergantung pada tujuannya). Namun, kita harus menyadari bahwa kebolehan tersebut tidak berarti menjadi kewajiban. Kehati-hatian dari fatwa yang mengharamkan tetap diakui sebagai pendapat yang sah. Kaidah induk lainnya, al-yaqīn lā yuzālu bi al-shak (keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan), menjadi landasan bersama bagi kedua pandangan baik yang mengharamkan maupun yang membolehkan untuk saling menghormati pilihan masing-masing.
Dalam perebdaan pandang ini selayaknya agar tidak saling menyerang, apalagi merendahkan, hingga melecehkan ilmu maupun iman pihak lain. Kedua pandangan ini sejatinya berakar pada fatwa yang bersifat relatif sesuai dengan sunnatullah. Oleh karena itu, sikap saling menghormati yang bebas dari provokasi sangat diperlukan untuk kepentingan bersama, demi menyebarkan kebaikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Hukum mengucapkan "Selamat Natal" dalam Islam adalah topik sensitif yang sering dibahas di kalangan ulama dan umat Muslim. Seorang Muslim seharusnya mampu menjalin hubungan yang harmonis, menghormati, dan bersikap adil terhadap non-Muslim yang bersikap damai, tidak menunjukkan permusuhan, dan tidak mengancam kehidupan beragama maupun tempat tinggal umat Islam. Islam sangat menganjurkan terciptanya perdamaian dalam hubungan antar sesama manusia.
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨ اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Mumtahanah : 8-9
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini menyampaikan bahwa Allah SWT memperbolehkan umat Islam untuk berbuat baik kepada pemeluk agama lain, selama mereka tidak memerangi kaum Muslimin. Hal ini termasuk berbuat baik kepada wanita dan orang-orang lemah di antara mereka. Manusia dianjurkan untuk bersikap baik dan adil, karena Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Dua ayat tersebut membedakan antara non muslim yang memiliki sikap damai (dzimmiy), dan sikap memerangi (harbiy). Yusuf Al-Qardlawi menjelaskan kepada non muslim dzimmiy, Al-Qur’an mengajarkan agar kita berbuat baik (al-birr) dan bersikap adil (al-qisth) kepada mereka. Al-birr itu melebihi keadilan itu sendiri. Adil (al-qisth) adalah kita mengambil hak kita, sedangkan kebaikan (al-birr) adalah kita memberikan sebagian hak kita. Adil (al-qisth) adalah memberikan hak orang lain tanpa dikurangi sedikitpun, sedangkan kebaikan (al-birr) adalah menambah kebaikan terhadap orang lain.
مسند أحمد ٢٥٧٠٢: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ يَعْنِي عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَقِيلٍ الثَّقَفِيَّ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ أُمِّهِ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي فِي مُدَّةِ قُرَيْشٍ مُشْرِكَةً وَهِيَ رَاغِبَةٌ يَعْنِي مُحْتَاجَةٌ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ عَلَيَّ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُهَا قَالَ صِلِي أُمَّكِ
Musnad Ahmad 25702: Telah menceritakan kepada kami Abu Nadlr Hasyim bin Al Qasim berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Aqil -yakni Abdullah bi Aqil As Tsaqafi- berkata: telah menceritakan kepada kami Hisyam berkata: telah mengabarkan kepadaku Bapakku dari Ibunya Asma' binti Abu Bakar dia berkata: "Ibuku datang kepadaku saat ia masih dalam keadaan menyembah berhala, di masa perjanjian dengan Quraisy, ia sangat butuh denganku (kangen), maka aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, aku katakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah datang kepadaku sedangkan dia masih musyrik, apakah aku boleh bersillaturrahmi dengannya?" Beliau bersabda: "bersilaturrahmilah pada ibumu."
Pendapat ini semakin kuat jika kita mempertimbangkan pentingnya mendekatkan hati mereka kepada Islam dan menciptakan rasa cinta terhadap umat Islam. Upaya tersebut tidak akan berhasil jika kita saling menjauh atau menghindar satu sama lain. Mengucapkan selamat tidak berarti mengakui atau meridhai agama mereka, melainkan hanya sekadar ungkapan penghormatan yang lazim dalam interaksi antar manusia. Demikian pula, menerima atau memberikan hadiah juga tidak ada salahnya, selama hadiah tersebut bukan sesuatu yang diharamkan seperti minuman keras atau daging babi. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah menerima hadiah dari non-Muslim, seperti hadiah dari Muqauqis, seorang pembesar Koptik.
Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa merayakan hari raya agama lain memang tidak diperbolehkan, karena umat Islam memiliki hari rayanya sendiri, begitu pula umat agama lain. Namun, beliau berpendapat bahwa mengucapkan selamat hari Natal kepada kerabat, tetangga, rekan, atau dalam konteks hubungan sosial yang memerlukan kasih sayang dan hubungan baik, serta sesuai dengan tradisi yang benar, adalah hal yang diperbolehkan. Dalam konteks zaman sekarang, dengan kompleksitas hubungan antarmanusia dan kebutuhan umat Islam untuk berinteraksi dengan non-Muslim, menampilkan wajah Islam yang ramah, penuh kabar gembira, dan tidak menakutkan menjadi semakin penting. Mengucapkan selamat Hari Raya Natal bukanlah bentuk persetujuan terhadap akidah atau keyakinan mereka, melainkan cerminan sikap toleransi, terutama di negara dengan keberagaman agama dan kepercayaan. Namun perlu digarisbawahi, toleransi antarumat beragama berbeda dengan toleransi dalam beragama.
Quraish Shihab mengatakan dalam konteks interaksi sosial dan menjaga keharmonisan hubungan, Al-Qur'an memperkenalkan bentuk redaksi yang memungkinkan lawan bicara memahami ucapan tersebut sesuai dengan keyakinan atau pandangannya, meskipun maksud dari pengucapnya berbeda. Hal ini mencerminkan kebijaksanaan, di mana pengucap tetap berpegang pada keyakinannya sendiri. Salah satu contohnya dapat dilihat dalam QS Saba' (34): 24-25.
Jika non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan keyakinannya, biarkan hal itu terjadi, karena seorang Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan pandangan imannya. Kearifan sangat diperlukan dalam interaksi sosial semacam ini. Dalam perspektif ini, fatwa yang melarang pengucapan tersebut dapat dimaklumi jika ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan terganggu akidahnya. Namun, tidak salah pula bagi mereka yang membolehkannya, asalkan dilakukan dengan kebijaksanaan dan tetap menjaga akidah. Terlebih lagi, jika ucapan tersebut dimaksudkan untuk mendukung keharmonisan hubungan.
Para ulama’ yang cenderung mendukung pandangan yang membolehkan ucapan "Selamat Natal" karena berlandaskan pada kaidah induk al-umūr bi maqāsidihā (segala sesuatu tergantung pada tujuannya). Namun, kita harus menyadari bahwa kebolehan tersebut tidak berarti menjadi kewajiban. Kehati-hatian dari fatwa yang mengharamkan tetap diakui sebagai pendapat yang sah. Kaidah induk lainnya, al-yaqīn lā yuzālu bi al-shak (keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan), menjadi landasan bersama bagi kedua pandangan baik yang mengharamkan maupun yang membolehkan untuk saling menghormati pilihan masing-masing.
Dalam perebdaan pandang ini selayaknya agar tidak saling menyerang, apalagi merendahkan, hingga melecehkan ilmu maupun iman pihak lain. Kedua pandangan ini sejatinya berakar pada fatwa yang bersifat relatif sesuai dengan sunnatullah. Oleh karena itu, sikap saling menghormati yang bebas dari provokasi sangat diperlukan untuk kepentingan bersama, demi menyebarkan kebaikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Komentar
Posting Komentar