RADIKALISME AGAMA DAN KEBEBASAN BERAGAMA
RADIKALISME
AGAMA DAN KEBEBASAN BERAGAMA
Oleh:
Fina Mawahib
Indonesia adalah negara yang memiliki beragam agama, sosial budaya,
bahasa, suku, dan lain-lain. Keberagaman di Indonesia jika dikelola dengan baik
dapat berpotensi menjadikan negara Indonesia semakin maju, jika sebaliknya maka
akan menghasilkan negative stereotyping yang merenggangkan solidaritas
sosial. Keberagaman di Indonesia idealnya menciptakkan paham pluralisme yang
dapat menumbuhkan kerangka berpikir dan interaksi untuk saling menghargai serta
toleransi antara satu sama lain. Namun, keberagaman tersebut sering kali
terjadi gesekan yang mengakibatkan problematika tersendiri di masyarakat,
terutama yang sering menjadi issu terhangat di Indonesia adalah masalah
kemajemukan beragama.
Keberagaman agama di Indonesia tidak mungkin bisa dihindari,
mengingat kemerdekaan Indonesia bukan hanya diraih oleh satu etnis agama saja melainkan banyak etnis agama yang ikut
andil dalam kemerdekaan Indonesia. Dewasa ini banyak kasus radikalisme agama
yang mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti survey Wahid
Foundation kepada 1.626 responden pada tahun 2017 menyatakan hampir 60% peserta
kerohanian Islam (rohis) di institusi pendidikan siap berjihad dengan jalan
kekerasan.[1]
Pada tahun 2017, Wahid Foundation menyebutkan 11 juta orang bersedia melakukan
tindakan radikal, 0,4% penduduk Indonesia pernah bertindak radikal dan 7,7%
akan bertindak radikal di masa akan datang. Selain itu, BNPT juga
mempertlihatkan 39% mahasiswa di 15 provinsi tertarik pada paham radikal.[2]
Kasus seperti ini tidak dapat diabaikan begitu saja, karena dapat mengancam
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.
RADIKALISME AGAMA DI INDONESIA
Radikalisme agama merupakan tindakan-tindakan ekstrim yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang cenderung menimbulkan
kekerasan dengan mengatasnamakan agama.[3]
Radikalisme agama di Indonesia banyak bersumber dari tindakan kaum Muslim
radikal, karena memang mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. padahal
Islam sejatinya merupakan agama yang sangat memprioritaskan keamanan,
kerukunan, dan kesejahteraan. Bahkan di dalam Islam tidak diperkenankan
memaksakan orang lain untuk memeluk agama Islam. Allah SWT berfirman:
لاَاِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ
......
Artinya: Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)...
Secara historis, praktik keseharian Nabi
Muhammad SAW meneguhkan visi dan misi Islam sebagai agama yang sangat humanis
dan toleran. Terbukti ketika fath makkah, beliau sangat menunjukkan
sifat yang sangat humanis, tidak ada balas dendam, apalagi pembunuhan. Demikian
pula ketika Nabi Muhammad di Madinah, beliau membuat Piagam Madinah yang
mencerminkan nilai-nilai toleransi terhadap non-Muslim, terutama kaum Yahudi.[4]
Nabi Muhammad sebagai teladan yang baik telah
mencerminkan sifat toleransi dan humanis antar umat beragama. Sebagai umat Nabi
Muhammad seharusnya meneladani sifat bijak beliau tanpa mengedepankan ego dan
menindas kaum non-Islam atau bahkan kaum Muslim yang tidak sepemahaman dengan
golongan tertentu. Karena, dewasa ini marak sekali golongan tafkiri yang
mengkafirkan golongan tertentu yang mencoba mengharmonisasikan nilai agama dan
nilai budaya di masyarakat. Gerakan tafkiri tersebut termasuk dalam
radikalisme agama karena melakukan tindakan ekstrem dalam tatanan nilai budaya
di masyarakat.
Rubaidi membagi lima ciri gerakan radikalisme. Pertama,
menjadikan Islam sebagai ideology final dalam mengatur kehidupan individual dan
politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi
dari Timur Tengah tanpa memperhatikan makna kontekstual yang ada dalam ayat
Al-Qur’an dan Sunnah. Ketiga, Memahami dalil nash dengan
pemahaman tekstual saja sehingga sangat rentan menjadi kaum puritan yang tidak
mampu mengkulturasikan nilai-nilai agama ke dalam tradisi lokal. Keempat,
menolak ideology Non-Timur Tengah termasuk ideology barat, seperti demokrasi,
sekularisme, dan liberlisme. Kelima, golongan ini sering berseberangan
dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, sering terjadi
gesekan ideologis bahkan gesekan fisik dengan kelompok lain, termasuk
pemerintah.[5]
Rabasa dan tim The Rand Corporation menguraikan bahwa sumber
radkalisme Islam setidaknya digolongkan atas tiga hal. Pertama, kondisi
yang terkait politik dan ekonomi atapun adanya gerakan anti-Barat atau
westernisasi. Kedua, proses-proses global yang terkait dengan arabisasi
dunia non-Arab, dukungan dana ekstremisme, pertumbuhan jaringan Islam radikal
internasional yang diiringi pemberitaan media, serta adanya pengaruh konflik
Palestina-Israel. Ketiga, peristiwa-peristiwa pendorong sebagaimana
Revolusi Iran, Perang Afghanistan, Perang Gulg 1991, Peristiwa pengeboman 11
September 2001, dan Perang Iraq.[6]
Sebenarnya radikalisme Muslim radikal di Indonesia sudah ada sejak
dulu dipelopori kaum yang hanya menggunakan pemahaman skripturalistik
tekstualis kemudian diaksikan dengan tindakan. Muslim radikal menggunakan kata
“jihad” sebagai senjata persuasif yang dimaknai berperang melawan
kelompok-kelompok yang tidak berada dalam satu pemahaman. Dengan hasil
pemahaman tekstul tersebut kaum Muslim radikal biasanya menggunakan konsepsi
teologis sebagai dasar tindakan, kemudian menciptakan rasa ambisius untuk
menegakkan Hukum Islam dalam tatanan kenegaraan.
Secara historis, gerakan radikalisme Muslim radikal di Indonesia
berawal pada tanggal 7 Agustus 1949 di Jawa Barat karena adanya ide Negara
Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dengan tokoh utama, SM. Kartosuwiryo
sebagai imamnya. Berlanjut pada tanggal 20 Januari 1952, DI/TII Kartosuwiryo
mendapat dukungan dari Kahar Muzakkar dan pengikutnya di Sulawesi, kemudian
pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh di Aceh memutuskan bergabung dengan
SM. Kartosuwiryo. Pada tahun 1954, ibnu hajar dan pasukannya di Kalimantan
Selatan juga turut bergabung. Namun, pada akhirnya gerakan ini mampu diatasi
oleh militer pro pemerintah dan tidak pernah muncul lagi selain melewati
gerakan bawah tanah.[7]
Pasca reformasi merupakan awal dari sebuah era baru dalam sejarah
Indonesia. Era reformasi dipandang sebagai pintu awal demokrasi dan
perpolitikan di Indonesia semakin terbuka. Demokratisasi menjadi peluang besar
bagi kelompok Islam yang radikal. Dalam
konstelasi politik di Indonesia, radikalisme nampaknya semakin berkembang dan
mempunyai beragam pola radikal. Ada yang sekedar memaksakan memformulasikan
hukum-hukum Islam ke dalam hukum nasional tanpa ingin merubah ideologi, ada
yang bercita-cita merubah negara Indonesia menjadi negara Islam, dan ada pula
yang berjuang mendirikan khilafah islamiyyah.
Kebebasan Beragama di Indonesia
Kebebasan beragama merupakan kebebasan setiap manusia untuk memilih
agama atau menentukan agama dan kepercayaan yang diyakini, serta kebebasan
melakukan ibadah sesuai ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.[8] Kebebasa beragama di Indonesia diatur dalam
Pasal 28E ayat 1 dan ayat 2 Undang Undang Dasar tahun 1945 yang berbunyi
(1)
Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2)
Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal
ini memiliki arti bahwa tidak ada yang dapat memaksakan seseorang untuk memeluk
agama yang tidak sesuai dengan kehendaknya dan kebebasan beragama di Indonesia dapat
berjalan dengan baik apabila setiap pemeluk agama saling menghargai.
Secara
historis perdebatan rumusan pasal kebebasan beragama menjadi perdebatan founding
fathers, yang menghasilkan suatu kesepakatan bahwa yang menjadi dasar
negara Indonesia adalah Pancasila. Dengan demikian, Indonesia tidak dapat
dikatakan sebagai negara agama. Hal ini didasarkan pada alasan diubahnya
keyakinan yang berdasarkan hukum Islam diganti dengan ketentuan prinsip-prinsip
teologis semua agama dan kepercayaan di Indonesia yang lebih netral. Oleh
karena itu, sila pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.[9]
Berbicara tentang kebebasan beragama, Indonesia memiliki prinsip
demokrasi yang dibangun dari konsep pemikiran masyarakat Indonesia, karena mereka
sadar bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki hak kebebasan dan berkehendak.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak setiap manusia yang bersifat non-derogable
right, yaitu hak asasi manusia yang bersifat absolut dan tidak dapat
dibatasi ataupun dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.
Kebebasan beragama di Indonesia memiliki tantangan besar dalam
masalah radikalisme agama yang memiliki pola ekstrim untuk mengancam eksistensi
kelompok lain. Permasalahan radikalisme ini sering disebabkan karena kelompok
radikal hanya terfokus pada wilayah teologis tanpa memperhatikan aspek
sosiologis yang ada dalam kehidupan masyarakat. Pola pikir seperti ini
menggiring mereka pada opini bahwa apa yang diyakininya dan dilakukannya
merupakan kebenaran tunggal, sehingga mereka cenderung memaksakan orang lain
agar mengikuti kehendak mereka dengan menggunakan cara kekerasan. Tindakan
seperti ini tentu saja melanggar konstitusi yang menjamin kebebasan beragama
dan berkeyakinan
Hak kebebasan beragama selalu berpijak pada nilai nilai humanistik
universal, yang memperlakukan semua manusia sama tanpa adanya perbedaan.
Pemenuhan terhadap hak kebebasan beragama diimplementasikan pada perwujudan
sifat toleransi dan perdamaian yang mendorong adanya keharmonian antara hak dan
kewajiban bagi sesama manusia. Dalam kehidupan masyarakat yang multi agama,
setidaknya dibutuhkan dua upaya untuk menjaga hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat beragama dan
bernegara yang baik, yaitu keyakinan yang matang terhadap agama ataupun keyakinan
yang dianut dan saling menghargai terhadap perbedaan perbedaan yang ada.
https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/847299/wahid-foundation-lebih-60-persen-aktivis-rohis-siap-jihad diakses pada tanggal 18 Nopember 2018
[2] https://www.google.co.id/amp/s/www.bcc.com/indonesia/amp/indonesia-44357353 diakses pada
tanggal 18 Nopember 2018
[3] Indah Limy,
dkk, “Radikalisme Agama sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang: Studi
Kasus Front Pembela Islam”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No.1
(Juni: 2003), h. 45
[4] Hasani Ahmad Said dan Fathurrahman Rauf, “Radikalisme Agama dalam
Perspektif Hukum Islam”, Al-‘Adalah, Vol. XII, No. 3, (Juni: 2015)
[5] Abdul Munip,
“Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume
1, Nomor 2, (Desember: 2012), h. 162
[6] Muh. Khamdan,
“Rethinking Deradikalisasi: Konstruksi Bina Damai Penanganan Terorisme”,
Addin, Vol.9, No.1, (Februari: 2015), h. 184
[7] Saifuddin,
“Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa”, Analisis, Volume XI, Nomor 1,
(Juni: 2011), h. 26
[8] Sartini,
“Etika Kebebasan Beragama”, Jurnal Filsafat, Vol. 18, Nomor 3,
(desember: 2008), h. 253
[9] Erna
Ratnaningsih, “Politik Hukum Pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia”, http://business-law.binus.ac.id/2017/07/31/politik-hukum-pengaturan-kebebasan-beragama-di-indonesia/ diakses pada
tanggal 08 Desember 2018
Komentar
Posting Komentar