KELUARGA SEBAGAI BENTENG AWAL DALAM PENYELENGGARAAN KETAHANAN NASIONAL DI INDONESIA


KELUARGA SEBAGAI BENTENG AWAL DALAM PENYELENGGARAAN KETAHANAN NASIONAL DI INDONESIA
Oleh Fina Mawahib

Pendahuluan
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamik bangsa yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi dan mampu mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang datang dari luar maupun dalam, yang langsung maupun tidak langsung sebagai upaya menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam menggapai cita-cita bersama.[1]
Tujuan ketahanan nasional adalah untuk menunjang tugas pokok pemerintah, seperti tegaknya hukum dan ketertiban, terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran, terselenggarakannya pertahanan dan keamanan, terwujudnya keadilan hukum dan keadilan sosial, serta adanya kesempatan rakyat untuk mengaktualisasi diri.
Dewasa ini, globalisasi membawa perubahan terhadap kondisi kemasyarakatan yang berpengaruh kepada ketahanan nasional. Kecepatan arus informasi dalam mendistribusikan opini dan berita publik sangat cepat merubah pandangan dan wawasan masyarakat. Keterbatasan jarak dan waktu dapat dipangkas secara cepat seehingga menyulitkan proses akulturasi. Proses perubahan yang begitu cepat akibat globalisasi membawa dampak yang besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti budaya gotong royong cenderung tergantikan dengan budaya konvensi. Begitu juga budaya silaturrahmi cenderung tergantikan dengan budaya berbicara melalui telepon. Fenomena lain yang kerap hadir di masyarakat adalah adanya tawuran pelajar, tawuran antar suku, dan disintegritas yang terjadi disebabkan perbedaan pemahaman kenegaraan dan keumatan. Kondisi seperti ini menjadi potret yang memperihatinkan kehidupan bermasyarakat yang dahulu terkenal dengan masyarakat yang sopan santun, welas asih, toleransi, saling menghargai, dan berbudi pekerti yang baik.
Beberapa kasus lain yang mengganggu ketahanan nasional yaitu adanya beberapa kelompok yang melakukan gerakan pendirian khilafah, aksi bom bunuh diri di Surabaya yang dilakukan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Gereja Kristen Indonesia, Gereja Katolik Santa Maria, rumah susun sewa (rusunawa) Wonocolo, dan polrestabes Surabaya. Ironisnya aksi semua teror ini dilakukan oleh tiga anggota keluarga. Kasus-kasus seperti ini merupakan salah satu ancaman yang dapat melemahkan ketahanan nasional. Oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah generasi yang mampu berpikir cerdas dan berperilaku santun, yang mana semua itu bergantung kepada pembiasaan yang dilakukan oleh keluarga yang menjadi institusi terkecil di  masyarakat.
Keluarga mempunyai beberapa fungsi, dimana jika fungsinya tersebut dapat berjalan secara optimal akan dapat membangun masyarakat yang kuat. Tetapi, jika fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan sesuai mestinya maka akan melahirkan masyarakat yang berkarakter menyimpang dan tentunya akan meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengakibatkan melemahnya ketahanan nasional. Akibat lain dari ketidak berhasilan suatu fungsi keluarga adalah adanya celah pentransferan paham radikal dari luar sehingga melunturkan rasa persatuan dan kesatuan serta hilangnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan. Adanya beberapa kasus di Indonesia yang melemahkan ketahanan nasional, maka makalah ini akan memberikan informasi tentang hubungan ketahanan keluarga dan ketahanan nasional. 

Penerapan Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia dalam Keluarga
Konsepsi ketahanan nasional adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang serasi, selaras, seimbang dalam semua aspek kehidupansecara utuh dan menyeluruh berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta Wawasan Nusantara. Dengan kata lain, konsepsi ketahanan nasional Indonesia merupakan pedoman untuk menigkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan.[2]
Keamanan nasional pada hakikatnya adalah kondisi dinamis kedamaian dan ketenteraman bangsa dan negara, yang merupakan hasil integrasi dan interaksi faktor-faktor dinamis yang memungkinkan seluruh rakyat berkembang susuai kemampuan dan tuntutan hidup masing-masing dalam kehidupan masyarakat yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan kesejahteraan nasional pada hakikatnya adalah kondisi dinamis kemajuan, keadilan, dan kemakmuran bangsa Indonesia yang merupakan hasil integrasi dan interaksi faktor dinamis dalam kehidupan masyarakat yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[3]
Konsepsi ketahanan nasional Indonesia merupakan acuan dari tumbuh kembang ketahanan nasional yang bersifat makro dan topdown tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya suatu subsistem yang mendampinginya untuk mewujudkan pembinaan ketahanan yang justru memerlukan pendekatan bottom up. Ketahanan nasional Indonesia tidak bisa terwujud jika tidak ada ketahanan pribadi, ketahanan keluarga, dan ketahanan lingkungan.
Konsep ketahanan nasional Indonesia mengacu kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Wawasan Kebangsaan yang dituangkan dalam Wawasan Nusantara. Konsepsi ini mengatur cara pandang dan sikap bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasional. Konsepsi ini meliputi aspek trigatra yang bersifat relatif statis dan aspek pancagatra yang bersifat relatif dinamis. Trigatra terdiri dari letak geografi, kekayaan alam, dan kependudukan. Sedangkan pancagatra terdiri atas ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Di dalam konsepsi ketahanan nasional Indonesia terdiri dari empat asas, yaitu:[4]
1.      Kesejahteraan dan keamanan
Kesejahteraan dan keamanan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan essensial dalam kehidupan masyarakat. Keduanya merupakan salah satu parameter tingkat ketahanan nasional sebuah bangsa dan negara. Kesejahteraan dan keamanan dapat dibedakan namun selalu berjalan beriringan. Di dalam konteks keluarga, kesejahteraan dan keamanan memang sesuatu yang harus terpenuhi agar tidak ada alasan untuk melakukan perbuatan kriminal, seperti mencuri dan prostitusi. Bahkan, beberpa kelompok radikal melakukan perekrutan dengan iming-iming jaminan kesejahteraan. Oleh karena itu, keluarga harus mampu memberikan kesejahteraan dan keamanan agar anggota keluaga terhindar dari aktivitas negatif.
2.      Komprehensif dan integral
Asas ini mempunyai arti bahwa ketahanan nasional mencakup semua aspek. Adapun mengenai komprehensif dan integral bukan hanya bertumpu kepada negara, tetapi peran keluarga juga ikut serta dalam merealisasikan semua aspek yang menyeluruh terpadu.
3.      Mawas diri kedalam maupun keluar.
Mawas dalam artinya ketahanan nasional harus berusaha menengok keunggulan dan kelemahan pada diri bangsa sendiri. Dengan cara tersebut bangsa Indonesia dapat mengukur dan meningkakan ketahanan nasional dari aspek yang kurang. Mengenai wilayah keluarga, maka setiap anggota keluarga harus selalu introspeksi diri dan saling melengkapi terhadap perbedaan potensi yang dimiliki.
Mawas keluar artinya mempunyai tujuan untuk dapat mengantisipasi dampak lingkungan strategis luar negeri dan menerima kenyataan adanya interaksi dan ketergantungan dengan dunia internasional. Jika asas ini diterapkan pada lingkup keluarga, maka keluarga harus saling kompak dalam menjaga setiap anggotanya dari pengaruh negatif. Selain itu, keluarga mempunyai peran membentuk anggota keluarga yang mampu berinteraksi dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.
4.      Kekeluargaan
Ketahanan nasional menjunjung tingga asas kekeluargaan. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan dan keragaman yang ada di seluruh wilayah Indonesia diakui. Dalam konteks internasional, asass kekeluargaan bermakna menghargai perbedaan untuk mengembagkan hubungan kemitraan yang serasi agar tidak berkembang menjadi konflik. Demikian juga dengan keluarga, keluarga seharusnya dapat memberikan pemahaman bagi setiap anggota keluarga bahwa perbedaan yang ada bukan untuk dipermaslahkan namun perbedaan itu untuk disinergikan agar ketahanan keluarga bisa menjadi kuat.
Ketahanan nasional tergantung pada kemampuan bangsa, Negara, dan keluarga dalam membina aspek alamiah serta aspek sosial sebagai landasan penyelenggaraan kehidupan nasional disegala bidang. Adapun sifat-sifat ketahanan nasional Indonesia yaitu:[5]
1.      Mandiri adalah percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri bertumpu pada identitas, integritas, dan kepribadian. Kemandirian adalah prasyarat menjalin kerjasama yang menguntungkan. Dalam penerapan di lingkup keluarga, kemandirian harus dijadikan suatu pembiasaan agar setiap anggota keluarga mampu mengahadapi situasi apapun yang terjadi.
2.      Dinamis adalah berubah tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta kondisi lingkungan strategis. Sifat dinamis bukan untuk taraf nasional saja, tetapi di keluarga harus ditanamkan juga agar keluarga dapat mencetak masyarkat yang selalu berproses dan tidak menjadi masyarakat yang tertinggal.
3.      Wibawa adalah pembinaan ketahanan nasional yang berhasil akan meningkatkan kemampuan bangsa dan menjadi faktor yang diperhatikan pihak lain. Adapun penerapan sifat wibawa di dalam keluarga bisa melalui keteladanan dari orang tua.
4.      Konsultasi dan kerjasama yaitu sikap konsultatif dan kerjasama serta saling menghargai dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa. Sifat ketahanan nasional yang konsultasi dan kerjasama juga harus dimiliki keluarga. Dengan sifat tersebut, diharapkan keluarga dapat mencetak pribadi-pribadi yang mampu berkolaborasi dan menjunjung tinggi sportifitas.
Dewasa ini, ketahanan nasional adalah sebuah harga mati bagi suatu bangsa. Untuk mewujudkannya, diperlukan ketahanan keluarga. Keluarga harus mampu memenuhi segala kebutuhannya seperti sandang, pangan, dan papan. Setelah kebutuhan tersebut dipenuhi, keluarga akan mampu melakukan aktivitas produktif untuk meningktkan kualitas hidupnya. Jika di Indonesia berhasil menciptakan generasi yang berkualitas, maka kehidupan bermasyarakat dapat berjalan dengan baik dan ketahanan nasional di Indonesia akan terwujud seperti yang sudah menjadi tujuan ketahanan nasional.

Peran dan Upaya Keluarga sebagai Benteng Awal dalam Menjaga Ketahanan Nasional
Keluarga adalah unit terkecil di masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Yusuf mengatakan keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, sehingga kedudukan keluarga dalam perkembangan psikologis anak sangatlah dominan.[6]
Keluarga dikatakan sebagai benteng awal dalam menjaga ketahanan nasional, karena keluarga mempunyai peran sebagai pondasi pendidikan sosial budaya. Keluarga merupakan media yang efektif dalam penanaman nlai-nilai budaya yang dianut. Indonesia adalah negara yang memiliki beragam suku, bahasa, agama, maupun budaya. Heteroginitas Indonesia dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman ini harus dipahami dan diamalkan agar dalam menyikapi keberagaman di Indonesia sebagai rahmat bukan ancaman. Keluarga juga berperan dalam membangun kesiapan mental anggota keluarga dalam membangun sosialisasi dengan masyarakat, sehingga interaksi dengan masyarakat dapat berjalan dengan baik.
Keluarga mempunyai peran sebagai pilar penyangga eksistensi suatu bangsa dan pusat kegiatan ekonomi masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil dapat menciptakan konsesnsus apabila ada konflik, dapat memperkirakan lingkungannya apabila terjadi sesuatu, dan bertanggungjawab memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, seperti agama, psikologi, makan, minum, dan sebagainya.
Djuju Sudjana mengemukakan tujuh macam fungsi keluarga, yaitu fungsi biologis, fungsi edukatif, fungsi religius, fungsi protektif, fungsi sosialisasi, fungsi rekreatif, dan fungsi ekonomis.[7] Tujuh fungsi tersebut tentunya membutuhkan kerjasama bagi setiap anggotanya, terutama orang tua. Karena orang tualah yang memiliki power di dalam keluarga. Kemitraan orang tua dalam kehidupan keluarga akan berdampak positif untuk keutuhan keluarga dan tumbuh kembang anak. Orang tua mempunyai mitra yang harmonis apabila mereka memiliki keseimbangan peran, keselarasan hak dan kewajiban dalam semua bidang.[8]
Berhubungan dengan ketahanan nasional, keluarga berpotensi tinggi dalam penyelenggaraan ketahanan nasional. Karena keluargalah yang mencetak baik buruknya individu yang kemudian individu tersebut menjadi suatu kelompok masyarakat yang hidup dalam satu negara. Tanggungjawab keluarga dalam mencetak generasi dijelaskan dalam Q.S An-Nisa’ ayat 9 yang berbunyi:
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوْا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوْااللهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Ayat ini ditujukan kepada yang berada di sekeliling orang yag sakit dan diduga akan segera meninggal. Pendapat ini merupakan pilihan banyak pakar tafsir, seperti ath-Thabrani dan Fakhruddin Ar-Razi. Ada juga yang memahaminya ditujukan kepada wali anak-anak yatim agar memperlakukan anak yatim seperti perlakuan yang mereka harapkan kepada anak-anaknya yang lemah bila kelak para wali tersebut meninggal dunia. Sedangkan, Muhammad Sayyid Thanthawi berpendapat bahwa ayat tersebut ditujukan kepada semua pihak, karena semua pihak diperintahkkan untuk berlaku adil, berucap yang benar dan tepat.[9]
QS. An-Nisa’ ayat 9 menerangkan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik, dan kelemahan intelegensi merupakan tanggungjawab wali kepada anaknya. Ketidakberdayaan seorang individu bukan hanya terletak pada aspek ekonomi semata, tetapi berhubungan dengan semua aspek kehidupan. Dengan demikian, keluarga mempunyai kewajiban untuk melindungi anggota keluarga agar tidak termarginalisasi karena tidak memiliki pengetahuan, kemampuan, keterampilan, kesempatan, dan semua hal yang diperlukan untuk maju dan berkembang secara sehat dan bermartabat. Apabila keluarga tidak mampu mencetak generasi yang berkualitas, maka masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang lemah yang dapat mengancam ketahanan nasional di Indonesia.
Generasi yang berkualitas bukan hanya memfokuskan pada aspek intelektualitas saja, namun aspek spiritualitas juga perlu diperhatikan. Mengingat, manusia adalah makhluk Allah SWT yang tidak bisa berbuat apapun tanpa bantuan-Nya. Selain itu, ideologi Indonesia adalah Pancasila, sila pertama dari Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sila ini menunjukan bahwa setiap warga negara Indonesia adalah umat beragama.
Tumbuhnya generasi yang berkualitas sangat mempengaruhi penguatan ketahanan nasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya pola asuh yang benar. Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebetuhan, memberikan perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari.
Pola asuh yang baik adalah menggunakan pola asuh yang demokratis. Pola asuh demokratis adalah pola komunikasi timbal balik, hangat dan memberikan kebebasan pribadi untuk beraktualisasi diri, namun orang tua tetap memberikan arahan dan batasan. Pola asuh orang tua demokratis diidentifikasi melalui adanya perhatian dan kehangatan, yaitu orang tua dalam mengasuh dan menjalin hubungan interpersonal dengan remaja didasari adanya perhatian, penghargaan, dan kasih sayang; Kebebasan berinisiatif, yaitu kesediaan orang tua untuk memberikan kesempatan kepada anak dalam menyampaikan pendapat, gagasan, dan pemikiran dengan tetap memperhatikan hak orang lain dan norma yang berlaku; Kontrol terarah, yaitu pola pengawasan dan pengendalian orang tua terhadap perilaku anak; Pemberian tanggungjawab, yaitu kesediaan orang tua memberikan peran dan tanggungjawab kepada anak atas segala sesuatu yang diperbuat.[10]
Adapun metode pengasuhan anak di dalam keluarga dapat dilakukan dengan menggunakan keteladanan orang tua dan pembiasaan. Orang tua mempunyai tugas besar yaitu menjadi tauladan bagi anak-anaknya. Karena keteladanan merupakan hal yang kongkrit dan mudah ditiru oleh anak. Selanjutnya, metode keteladanan harus diimbangi dengan pembiasaan untuk mencapai target tetap, tepat, dan maksimal.
Pola asuh demokratis dengan menggunakan metode keteladanan dan pembiasaan dapat menghasilkan karakteristik individu mandiri, tidak stagnan, dapat berdamai dengan lingkungan. Karakteristik seperti inilah yang mampu menghadapi tantangan dari luar dan dalam. Tantangan di kehidupan nasional bukanlah tantangan yang sepele, oleh karenanya Indonesia membutuhkan mmasyarakat yang mandiri, dinamis, wibawa, dan mampu bekerjasama. Dengan demikian bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang selalu berproses dan bersinergi untuk meningkatkan potensi yang dimiliki serta untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil dan menyeluruh.

Catatan Akhir:
1.      Konsepsi ketahanan nasional Indonesia merupakan pedoman untuk menigkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Asas-asas ketahanan nasional yaitu kesejahteraan dan kemanan, komprehensif dan itegral, mawas keluar dan kedalam, serta kekeluargaan. Sifat-sifat ketahanan nasional yaitu mandiri, dinamis, wibawa, dan bekerjasama. Asas-asas dan sifat-sifat ketahanan keluarga tersebut juga dapat dilakukan dalam membentuk ketahanan keluarga.
2.      Keluarga mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan ketahanan nasional. Peran-peran keluarga tersebut antara lain, sebagai tempat penanaman nilai agama, sebagai pendidikan sosial budaya, sebagai pilar penyangga eksistensi suatu bangsa, sebagai pembentuk karakter individu, dan sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarkat. Semua peran tersebut dapat terealisasi dengan baik apabila adanya kerjasama dari setiap anggota keluarga. Selain itu, pola asuh demokratis dan metode keteladanan serta metode pembiasaan juga ikut andil dalam memaksimalkan peran keluarga. Kemudian pada akhirnya, keluarga akan mampu melahirkan generasi tangguh dan bermartabat yang mampu menjaga ketahanan nasional.




DAFTAR PUSTAKA
Pranowo, M. Bambang. Multidimensi Ketahanan Nasional. (Jakarta: Pustaka Alvaber. 2010)

MBA, Sumarsono. Pendidikan Kewarganegaraan. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006)

Suryokusumo, Suryanto. Konsep Sistem pertahanan Nonmiliter: Suatu Sistem Pertahanan Komplemen, Sistem Pertahanan Militer dalam Pertahanan Rakyat Semesta. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesi. 2016)

Babari, Yohanes. Relasi dengan sesame. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. 2005)

Agus, A. Aco. ”Urgensi Ketahanan Nasional sebagai Geostrategi Indonesia”. Jurnal Integrasi PIPS Pascasarjana UNM

Mahifal. “Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Pembinaan Ideologi dan Wawasan Kebangsaan”. Jurnal Pedagogia FKIP-Unpak

Mufidah. Psikologi Kelu arga Islam Berwawasan Gender. (Malang: UIN Maliki Press. 2013)

Subhan, Zaitunah. Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam penafsiran. (Jakarta: Prenadamedia Group.2015)

Arisca, Ayu Puspita. “Nilai-Nilai Pendidikan dalam QS. An-Nisa’ Ayat 9”, Skripsi. (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry Darussalam. 2017)

Cristiany. “Konsep Diri, Pola Asuh Orang Tua Demokratis dan Kompetensi Sosial Siswa”. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 3, No. 01. (Januari 2014)



[1] M. Bambang Pranowo, Multidimensi Ketahanan Nasional, (Jakarta: Pustaka Alvaber, 2010), h. 6
[2] Drs. S. Sumarsono, MBA, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 106
[3] Suryanto Suryokusumo, Konsep Sistem pertahanan Nonmiliter: Suatu Sistem Pertahanan Komplemen, Sistem Pertahanan Militer dalam Pertahanan Rakyat Semesta, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), h. 82-84
[4] Drs. Yohanes Babari, Relasi dengan sesama, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka: 2005), h. 89
[5] A. Aco Agus, ”Urgensi Ketahanan Nasional sebagai Geostrategi Indonesia”, Jurnal Integrasi PIPS Pascasarjana UNM, h. 248
[6] Mahifal, “Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Pembinaan Ideologi dan Wawasan Kebangsaan”, Jurnal Pedagogia FKIP-Unpak, h. 5
[7] Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Maliki Press, 2013), h. 42
[8] Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam penafsiran, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 35
[9] Ayu Puspita Arisca, “Nilai-Nilai Pendidikan dalam QS. An-Nisa’ Ayat 9”, Skripsi, (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry Darussalam, 2017), h. 23
[10] Cristiany, “Konsep Diri, Pola Asuh Orang Tua Demokratis dan Kompetensi Sosial Siswa”, Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, Vol. 3, No. 01, (Januari 2014),  h. 11

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGUCAPAN SELAMAT HARI NATAL BAGI UMAT MUSLIM, IKUT ARUS ATAU TETAP MELAWAN ARUS?

RENUNGAN PERISTIWA ISRA' MI'RAJ

DIALOG HATI