KELUARGA SEBAGAI BENTENG AWAL DALAM PENYELENGGARAAN KETAHANAN NASIONAL DI INDONESIA
KELUARGA SEBAGAI
BENTENG AWAL DALAM PENYELENGGARAAN KETAHANAN NASIONAL DI INDONESIA
Oleh
Fina Mawahib
Pendahuluan
Ketahanan
nasional adalah kondisi dinamik bangsa yang meliputi segenap aspek kehidupan
nasional yang terintegrasi dan mampu mengembangkan kekuatan nasional dalam
menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang datang dari
luar maupun dalam, yang langsung maupun tidak langsung sebagai upaya menjamin
kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam menggapai cita-cita bersama.[1]
Tujuan ketahanan
nasional adalah untuk menunjang
tugas pokok pemerintah, seperti tegaknya hukum dan ketertiban, terwujudnya
kesejahteraan dan kemakmuran, terselenggarakannya pertahanan dan keamanan,
terwujudnya keadilan hukum dan keadilan sosial, serta adanya kesempatan rakyat
untuk mengaktualisasi diri.
Dewasa ini,
globalisasi membawa perubahan terhadap kondisi kemasyarakatan yang berpengaruh
kepada ketahanan nasional. Kecepatan arus informasi dalam mendistribusikan
opini dan berita publik sangat cepat merubah pandangan dan wawasan masyarakat.
Keterbatasan jarak dan waktu dapat dipangkas secara cepat seehingga menyulitkan
proses akulturasi. Proses perubahan yang begitu cepat akibat globalisasi
membawa dampak yang besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti
budaya gotong royong cenderung tergantikan dengan budaya konvensi. Begitu juga
budaya silaturrahmi cenderung tergantikan dengan budaya berbicara melalui
telepon. Fenomena lain yang kerap hadir di masyarakat adalah adanya tawuran pelajar,
tawuran antar suku, dan disintegritas yang terjadi disebabkan perbedaan
pemahaman kenegaraan dan keumatan. Kondisi seperti ini menjadi potret yang
memperihatinkan kehidupan bermasyarakat yang dahulu terkenal dengan masyarakat
yang sopan santun, welas asih, toleransi, saling menghargai, dan berbudi
pekerti yang baik.
Beberapa kasus
lain yang mengganggu ketahanan nasional yaitu adanya beberapa kelompok yang
melakukan gerakan pendirian khilafah, aksi bom bunuh diri di Surabaya yang
dilakukan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Gereja Kristen Indonesia, Gereja
Katolik Santa Maria, rumah susun sewa (rusunawa) Wonocolo, dan polrestabes
Surabaya. Ironisnya aksi semua teror ini dilakukan oleh tiga anggota keluarga.
Kasus-kasus seperti ini merupakan salah satu ancaman yang dapat melemahkan
ketahanan nasional. Oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah generasi
yang mampu berpikir cerdas dan berperilaku santun, yang mana semua itu
bergantung kepada pembiasaan yang dilakukan oleh keluarga yang menjadi institusi
terkecil di masyarakat.
Keluarga
mempunyai beberapa fungsi, dimana jika fungsinya tersebut dapat berjalan secara
optimal akan dapat membangun masyarakat yang kuat. Tetapi, jika fungsi-fungsi
tersebut tidak berjalan sesuai mestinya maka akan melahirkan masyarakat yang
berkarakter menyimpang dan tentunya akan meresahkan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang mengakibatkan melemahnya ketahanan nasional. Akibat lain dari
ketidak berhasilan suatu fungsi keluarga adalah adanya celah pentransferan
paham radikal dari luar sehingga melunturkan rasa persatuan dan kesatuan serta
hilangnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan. Adanya beberapa
kasus di Indonesia yang melemahkan ketahanan nasional, maka makalah ini akan
memberikan informasi tentang
hubungan
ketahanan keluarga dan ketahanan nasional.
Penerapan Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia dalam Keluarga
Konsepsi
ketahanan nasional adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui
pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang serasi, selaras,
seimbang dalam semua aspek kehidupansecara utuh dan menyeluruh berlandaskan
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta Wawasan Nusantara. Dengan kata lain,
konsepsi ketahanan nasional Indonesia merupakan pedoman untuk menigkatkan
keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan.[2]
Keamanan
nasional pada hakikatnya adalah kondisi dinamis kedamaian dan ketenteraman
bangsa dan negara, yang merupakan hasil integrasi dan interaksi faktor-faktor
dinamis yang memungkinkan seluruh rakyat berkembang susuai kemampuan dan
tuntutan hidup masing-masing dalam kehidupan masyarakat yang berdasarkan pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan kesejahteraan nasional pada
hakikatnya adalah kondisi dinamis kemajuan, keadilan, dan kemakmuran bangsa
Indonesia yang merupakan hasil integrasi dan interaksi faktor dinamis dalam
kehidupan masyarakat yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[3]
Konsepsi
ketahanan nasional Indonesia merupakan acuan dari tumbuh kembang ketahanan
nasional yang bersifat makro dan topdown tidak dapat berjalan dengan
baik tanpa adanya suatu subsistem yang mendampinginya untuk mewujudkan
pembinaan ketahanan yang justru memerlukan pendekatan bottom up.
Ketahanan nasional Indonesia tidak bisa terwujud jika tidak ada ketahanan
pribadi, ketahanan keluarga, dan ketahanan lingkungan.
Konsep
ketahanan nasional Indonesia mengacu kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, dan Wawasan Kebangsaan yang dituangkan dalam Wawasan Nusantara. Konsepsi
ini mengatur cara pandang dan sikap bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan
nasional. Konsepsi ini meliputi aspek trigatra yang bersifat relatif statis dan aspek pancagatra yang
bersifat relatif
dinamis. Trigatra terdiri dari letak geografi, kekayaan alam, dan kependudukan.
Sedangkan pancagatra terdiri atas ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
dan pertahanan keamanan.
Di
dalam konsepsi ketahanan nasional Indonesia terdiri dari empat asas, yaitu:[4]
1. Kesejahteraan
dan keamanan
Kesejahteraan
dan keamanan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan essensial dalam kehidupan
masyarakat. Keduanya merupakan salah satu parameter tingkat ketahanan nasional
sebuah bangsa dan negara. Kesejahteraan dan keamanan dapat dibedakan namun
selalu berjalan beriringan. Di dalam konteks keluarga, kesejahteraan dan
keamanan memang sesuatu yang harus terpenuhi agar tidak ada alasan untuk
melakukan perbuatan kriminal, seperti mencuri dan prostitusi. Bahkan, beberpa
kelompok radikal melakukan perekrutan dengan iming-iming jaminan kesejahteraan.
Oleh karena itu, keluarga harus mampu memberikan kesejahteraan dan keamanan
agar anggota keluaga terhindar dari aktivitas negatif.
2. Komprehensif
dan integral
Asas ini
mempunyai arti bahwa ketahanan nasional mencakup semua aspek. Adapun mengenai
komprehensif dan integral bukan hanya bertumpu kepada negara, tetapi peran
keluarga juga ikut serta dalam merealisasikan semua aspek yang menyeluruh
terpadu.
3. Mawas
diri kedalam maupun keluar.
Mawas dalam
artinya ketahanan nasional harus berusaha menengok keunggulan dan kelemahan
pada diri bangsa sendiri. Dengan cara tersebut bangsa Indonesia dapat mengukur
dan meningkakan ketahanan nasional dari aspek yang kurang. Mengenai wilayah
keluarga, maka setiap anggota keluarga harus selalu introspeksi diri dan saling
melengkapi terhadap perbedaan potensi
yang dimiliki.
Mawas keluar
artinya mempunyai tujuan untuk dapat mengantisipasi dampak lingkungan strategis
luar negeri dan menerima kenyataan adanya interaksi dan ketergantungan dengan
dunia internasional. Jika asas ini diterapkan pada lingkup keluarga, maka
keluarga harus saling kompak dalam menjaga setiap anggotanya dari pengaruh negatif.
Selain itu, keluarga mempunyai peran membentuk anggota keluarga yang mampu
berinteraksi dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.
4. Kekeluargaan
Ketahanan
nasional menjunjung tingga asas kekeluargaan. Oleh karena itu,
perbedaan-perbedaan dan keragaman yang ada di seluruh wilayah Indonesia diakui.
Dalam konteks internasional, asass kekeluargaan bermakna menghargai perbedaan
untuk mengembagkan hubungan kemitraan yang serasi agar tidak berkembang menjadi
konflik. Demikian juga dengan keluarga, keluarga seharusnya dapat memberikan
pemahaman bagi setiap anggota keluarga bahwa perbedaan yang ada bukan untuk
dipermaslahkan namun perbedaan itu untuk disinergikan agar ketahanan keluarga
bisa menjadi kuat.
Ketahanan
nasional tergantung pada kemampuan bangsa, Negara, dan keluarga dalam membina aspek
alamiah serta aspek sosial sebagai landasan penyelenggaraan kehidupan nasional
disegala bidang. Adapun sifat-sifat ketahanan nasional Indonesia yaitu:[5]
1. Mandiri
adalah percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri bertumpu pada identitas,
integritas, dan kepribadian. Kemandirian adalah prasyarat menjalin kerjasama
yang menguntungkan. Dalam penerapan di lingkup keluarga, kemandirian harus
dijadikan suatu pembiasaan agar setiap anggota keluarga mampu mengahadapi
situasi apapun yang terjadi.
2. Dinamis
adalah berubah tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta
kondisi lingkungan strategis. Sifat dinamis bukan untuk taraf nasional saja,
tetapi di keluarga harus ditanamkan juga agar keluarga dapat mencetak masyarkat
yang selalu berproses dan tidak menjadi masyarakat yang tertinggal.
3. Wibawa
adalah pembinaan ketahanan nasional yang berhasil akan meningkatkan kemampuan
bangsa dan menjadi faktor yang diperhatikan pihak lain. Adapun penerapan sifat
wibawa di dalam keluarga bisa melalui keteladanan dari orang tua.
4. Konsultasi
dan kerjasama yaitu sikap konsultatif dan kerjasama serta saling menghargai
dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa. Sifat ketahanan
nasional yang konsultasi dan kerjasama juga harus dimiliki keluarga. Dengan
sifat tersebut, diharapkan keluarga dapat mencetak pribadi-pribadi yang mampu
berkolaborasi dan menjunjung tinggi sportifitas.
Dewasa
ini, ketahanan nasional adalah sebuah harga mati bagi suatu bangsa. Untuk
mewujudkannya, diperlukan ketahanan keluarga. Keluarga harus mampu memenuhi
segala kebutuhannya seperti sandang, pangan, dan papan. Setelah kebutuhan
tersebut dipenuhi, keluarga akan mampu melakukan aktivitas produktif untuk
meningktkan kualitas hidupnya. Jika di Indonesia berhasil menciptakan generasi
yang berkualitas, maka kehidupan bermasyarakat dapat berjalan dengan baik dan
ketahanan nasional di Indonesia akan terwujud seperti yang sudah menjadi tujuan
ketahanan nasional.
Peran dan Upaya Keluarga sebagai Benteng Awal dalam Menjaga Ketahanan Nasional
Keluarga
adalah unit terkecil di masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam
keadaan saling ketergantungan. Yusuf mengatakan keluarga merupakan lingkungan
pertama dan utama bagi anak, sehingga kedudukan keluarga dalam perkembangan
psikologis anak sangatlah dominan.[6]
Keluarga
dikatakan sebagai benteng awal dalam menjaga ketahanan nasional, karena
keluarga mempunyai peran sebagai pondasi pendidikan sosial budaya. Keluarga
merupakan media yang efektif dalam penanaman nlai-nilai budaya yang dianut. Indonesia adalah negara yang memiliki
beragam suku, bahasa, agama, maupun budaya. Heteroginitas
Indonesia dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman ini harus
dipahami dan diamalkan agar dalam menyikapi keberagaman di Indonesia sebagai
rahmat bukan ancaman. Keluarga juga berperan dalam membangun kesiapan
mental anggota keluarga dalam membangun sosialisasi dengan masyarakat, sehingga
interaksi dengan masyarakat dapat berjalan dengan baik.
Keluarga
mempunyai peran sebagai pilar penyangga eksistensi suatu bangsa dan pusat
kegiatan ekonomi masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil dapat menciptakan
konsesnsus apabila ada konflik, dapat memperkirakan lingkungannya apabila
terjadi sesuatu, dan bertanggungjawab memenuhi kebutuhan anggota keluarganya,
seperti agama, psikologi, makan, minum, dan sebagainya.
Djuju
Sudjana mengemukakan tujuh macam fungsi keluarga, yaitu fungsi biologis, fungsi
edukatif, fungsi religius, fungsi protektif, fungsi sosialisasi, fungsi
rekreatif, dan fungsi ekonomis.[7]
Tujuh fungsi tersebut tentunya membutuhkan kerjasama bagi setiap anggotanya,
terutama orang tua. Karena orang tualah yang memiliki power di dalam
keluarga. Kemitraan orang tua dalam kehidupan keluarga akan berdampak positif
untuk keutuhan keluarga dan tumbuh kembang anak. Orang tua mempunyai mitra yang
harmonis apabila mereka memiliki keseimbangan peran, keselarasan hak dan
kewajiban dalam semua bidang.[8]
Berhubungan
dengan ketahanan nasional, keluarga berpotensi tinggi dalam penyelenggaraan
ketahanan nasional. Karena keluargalah yang mencetak baik buruknya individu
yang kemudian individu tersebut menjadi suatu kelompok masyarakat yang hidup
dalam satu negara. Tanggungjawab keluarga dalam mencetak generasi dijelaskan
dalam Q.S An-Nisa’ ayat 9 yang berbunyi:
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا
مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوْا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوْااللهَ وَلْيَقُوْلُوْا
قَوْلًا سَدِيْدًا
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.
Ayat ini ditujukan kepada yang berada di sekeliling orang
yag sakit dan diduga akan segera meninggal. Pendapat ini merupakan pilihan
banyak pakar tafsir, seperti ath-Thabrani dan Fakhruddin Ar-Razi. Ada juga yang
memahaminya ditujukan kepada wali anak-anak yatim agar memperlakukan anak yatim
seperti perlakuan yang mereka harapkan kepada anak-anaknya yang lemah bila
kelak para wali tersebut meninggal dunia. Sedangkan, Muhammad Sayyid Thanthawi
berpendapat bahwa ayat tersebut ditujukan kepada semua pihak, karena semua
pihak diperintahkkan untuk berlaku adil, berucap yang benar dan tepat.[9]
QS. An-Nisa’ ayat 9 menerangkan bahwa kelemahan ekonomi,
kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik, dan kelemahan intelegensi merupakan
tanggungjawab wali kepada anaknya. Ketidakberdayaan seorang individu bukan
hanya terletak pada aspek ekonomi semata, tetapi berhubungan dengan semua aspek
kehidupan. Dengan demikian, keluarga mempunyai kewajiban untuk melindungi
anggota keluarga agar tidak termarginalisasi karena tidak memiliki pengetahuan,
kemampuan, keterampilan, kesempatan, dan semua hal yang diperlukan untuk maju
dan berkembang secara sehat dan bermartabat. Apabila keluarga tidak mampu
mencetak generasi yang berkualitas, maka masyarakat Indonesia menjadi
masyarakat yang lemah yang dapat mengancam ketahanan nasional di Indonesia.
Generasi yang berkualitas bukan hanya memfokuskan pada
aspek intelektualitas saja, namun aspek spiritualitas juga perlu diperhatikan.
Mengingat, manusia adalah makhluk Allah SWT yang tidak bisa berbuat apapun
tanpa bantuan-Nya. Selain itu, ideologi Indonesia adalah Pancasila, sila pertama
dari Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sila ini menunjukan
bahwa setiap warga negara Indonesia adalah umat beragama.
Tumbuhnya generasi yang berkualitas sangat mempengaruhi
penguatan ketahanan nasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya pola asuh yang
benar. Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebetuhan,
memberikan perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari.
Pola asuh yang baik adalah menggunakan pola asuh yang
demokratis. Pola asuh demokratis adalah pola komunikasi timbal balik, hangat
dan memberikan kebebasan pribadi untuk beraktualisasi diri, namun orang tua
tetap memberikan arahan dan batasan. Pola asuh orang tua demokratis
diidentifikasi melalui adanya perhatian dan kehangatan, yaitu orang tua dalam
mengasuh dan menjalin hubungan interpersonal dengan remaja didasari adanya
perhatian, penghargaan, dan kasih sayang; Kebebasan berinisiatif, yaitu kesediaan
orang tua untuk memberikan kesempatan kepada anak dalam menyampaikan pendapat,
gagasan, dan pemikiran dengan tetap memperhatikan hak orang lain dan norma yang
berlaku; Kontrol terarah, yaitu pola pengawasan dan pengendalian orang tua
terhadap perilaku anak; Pemberian tanggungjawab, yaitu kesediaan orang tua
memberikan peran dan tanggungjawab kepada anak atas segala sesuatu yang
diperbuat.[10]
Adapun metode pengasuhan anak di dalam keluarga dapat
dilakukan dengan menggunakan keteladanan orang tua dan pembiasaan. Orang tua
mempunyai tugas besar yaitu menjadi tauladan bagi anak-anaknya. Karena
keteladanan merupakan hal yang kongkrit dan mudah ditiru oleh anak.
Selanjutnya, metode keteladanan harus diimbangi dengan pembiasaan untuk
mencapai target tetap, tepat, dan maksimal.
Pola asuh demokratis dengan menggunakan metode
keteladanan dan pembiasaan dapat menghasilkan karakteristik individu mandiri,
tidak stagnan, dapat berdamai dengan lingkungan. Karakteristik seperti inilah
yang mampu menghadapi tantangan dari luar dan dalam. Tantangan di kehidupan
nasional bukanlah tantangan yang sepele, oleh karenanya Indonesia membutuhkan
mmasyarakat yang mandiri, dinamis, wibawa, dan mampu bekerjasama. Dengan demikian
bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang selalu berproses dan bersinergi untuk
meningkatkan potensi yang dimiliki serta untuk memajukan kehidupan berbangsa
dan bernegara secara adil dan menyeluruh.
Catatan Akhir:
1.
Konsepsi ketahanan nasional Indonesia
merupakan pedoman untuk menigkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan
kesejahteraan dan keamanan.
Asas-asas ketahanan nasional yaitu kesejahteraan dan kemanan, komprehensif dan
itegral, mawas keluar dan kedalam, serta kekeluargaan. Sifat-sifat ketahanan
nasional yaitu mandiri, dinamis, wibawa, dan bekerjasama. Asas-asas dan
sifat-sifat ketahanan keluarga tersebut juga dapat dilakukan dalam membentuk
ketahanan keluarga.
2.
Keluarga mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan
ketahanan nasional. Peran-peran keluarga tersebut antara lain, sebagai tempat
penanaman nilai agama, sebagai pendidikan sosial budaya, sebagai pilar penyangga
eksistensi suatu bangsa, sebagai pembentuk karakter individu, dan sebagai pusat
kegiatan ekonomi masyarkat. Semua peran tersebut dapat terealisasi dengan baik
apabila adanya kerjasama dari setiap anggota keluarga. Selain itu, pola asuh
demokratis dan metode keteladanan serta metode pembiasaan juga ikut andil dalam
memaksimalkan peran keluarga. Kemudian pada akhirnya, keluarga akan mampu
melahirkan generasi tangguh dan bermartabat yang mampu menjaga ketahanan
nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Pranowo, M. Bambang. Multidimensi Ketahanan Nasional. (Jakarta: Pustaka Alvaber.
2010)
MBA, Sumarsono. Pendidikan Kewarganegaraan. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006)
Suryokusumo, Suryanto. Konsep Sistem pertahanan Nonmiliter: Suatu Sistem
Pertahanan Komplemen, Sistem Pertahanan Militer dalam Pertahanan Rakyat Semesta. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesi.
2016)
Babari, Yohanes. Relasi dengan sesame.
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. 2005)
Agus, A. Aco. ”Urgensi
Ketahanan Nasional sebagai Geostrategi Indonesia”. Jurnal
Integrasi PIPS Pascasarjana UNM
Mahifal. “Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
Pembinaan Ideologi dan Wawasan Kebangsaan”. Jurnal Pedagogia FKIP-Unpak
Mufidah. Psikologi Kelu arga Islam Berwawasan Gender. (Malang: UIN Maliki
Press. 2013)
Subhan, Zaitunah. Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender
dalam penafsiran. (Jakarta: Prenadamedia Group.2015)
Arisca, Ayu Puspita. “Nilai-Nilai Pendidikan dalam QS. An-Nisa’ Ayat 9”, Skripsi.
(Banda Aceh: UIN Ar-Raniry Darussalam. 2017)
Cristiany. “Konsep Diri, Pola Asuh Orang Tua Demokratis dan Kompetensi
Sosial Siswa”. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 3, No. 01.
(Januari 2014)
[1] M. Bambang Pranowo, Multidimensi
Ketahanan Nasional, (Jakarta: Pustaka Alvaber, 2010), h. 6
[2] Drs. S. Sumarsono, MBA, Pendidikan
Kewarganegaraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 106
[3] Suryanto Suryokusumo, Konsep
Sistem pertahanan Nonmiliter: Suatu Sistem Pertahanan Komplemen, Sistem
Pertahanan Militer dalam Pertahanan Rakyat Semesta, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2016), h. 82-84
[4] Drs. Yohanes Babari, Relasi
dengan sesama, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka: 2005), h. 89
[5] A. Aco Agus, ”Urgensi Ketahanan
Nasional sebagai Geostrategi Indonesia”, Jurnal Integrasi PIPS Pascasarjana
UNM, h. 248
[6] Mahifal, “Membangun Keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Pembinaan Ideologi dan Wawasan
Kebangsaan”, Jurnal Pedagogia FKIP-Unpak, h. 5
[7] Mufidah, Psikologi Keluarga
Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Maliki Press, 2013), h. 42
[8] Zaitunah Subhan, Al-Qur’an
dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam penafsiran, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), h. 35
[9] Ayu Puspita
Arisca, “Nilai-Nilai Pendidikan dalam QS. An-Nisa’ Ayat 9”, Skripsi,
(Banda Aceh: UIN Ar-Raniry Darussalam, 2017), h. 23
[10] Cristiany,
“Konsep Diri, Pola Asuh Orang Tua Demokratis dan Kompetensi Sosial Siswa”, Persona,
Jurnal Psikologi Indonesia, Vol. 3, No. 01, (Januari 2014), h. 11
Komentar
Posting Komentar