Artikel Varian Sistem Hukum Kekerabatan


VARIAN SISTEM HUKUM KEKERABATAN
Oleh: Fina Mawahib

Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri atas beberapa keluarga yang mempunyai hubungan darah secara vertikal maupun horisontal atau akibat dari perkawinan.[1] Anggota dari sistem kekerabatan terdiri dari ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya.[2] Kekerabatan juga dapat diartikan sebagai hubungan seseorang atau entitas yang sama secara silsilah, maupun adat yang sama. Kekerabatan adalah suatu unit terkecil dari masyarakat yang berasal dari dua keluarga, yakni keluarga inti dan keluarga besar
Dalam sistem kekerabatan masyarakat, keturunan merupakan hal yang  penting sebagai penerus garis keturunan (clan) baik garis keturunan lurus atau menyamping. Pada umumnya keturunan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan darah. Hubungan keturunan juga mempunyai akibat hukum, tetapi akibat hukum setiap daerah akan berbeda. Meskipun akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur diseluruh daerah tidak sama, tapi realita yang ada di masyarakat terdapat satu kesamaan pandangan pokok yaitu keturunan merupakan unsur yang hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku, ataupun kerabat yang menginginkan agar garis keturunannya tidak punah, sehingga ada generasi penerusnya.
Keturunan mempunyai dua sifat, yaitu:
1.    Lurus, apabila orang seorang merupakan langsung keturunan dari yang lain, misalnya antara bapak dan anak; antara kakek, bapak dan anak, disebut lurus kebawah apabila rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan disebut lurus kebawah apabila rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek.
2.    Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek nenek dan lain sebagainya.[3]
Dalam struktur masyarakat di Indonesia menganut 3 (tiga) macam sistem kekerabatan, yaitu:
1.      Sistem Kekerabatan Parental
Sistem Kekerabatan Parental adalah Anak menghubungkan diri dengan kedua orangtuanya. Anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ayah-ibunya secara bilateral. Dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang perkawinan, kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam susunan parental ini seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun langsung oleh perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh  perkawinan sanak kandungnya, memang kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya sendiri.[4] Sistem ini diterapkan oleh masyarakat Jawa dan Sunda.
2.      Sistem Kekerabatan Patrilineal
Sistem Kekerabatan Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari ayah saja. Hak waris hanya diberikan kepada anggota-anggota kerabat laki-laki, terutama anak laki-laki. Bagi masyarakat patrilineal, laki-laki mendapat penghargaan dan penghormatan lebih tinggi dari kaum wanita.[5] Sistem ini diterapkan oleh masyarakat Batak.
3.      Sistem Kekerabatan Matrilineal
Sistem Kekerabatan Matrilineal adalah anak menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis keturunan perempuan). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ibu berdasarkan garis keturunan perempuan secara unilateral. Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang menyebabkan tumbuhnya konsekuensi (misalkan, dalam masalah warisan) yang jauh lebih banyak dan lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak.[6] Sistem ini diterapkan oleh masyarakat Minagkabau.



[1] M. Yahya Mansur, Sistem kekerabatan dan pola pewarisan, (Jakarta: Pustaka Grafika Kita, 1998), h. 43
[2] T.O. Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 15
[3] Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat , (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006). h. 4
[4] Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2006), H. 40
[5] Tedi Sutardi, Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya 1, (Jakarta: Setia Purna, 2009), h. 43.
[6] Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat , (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006). h. 5

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGUCAPAN SELAMAT HARI NATAL BAGI UMAT MUSLIM, IKUT ARUS ATAU TETAP MELAWAN ARUS?

RENUNGAN PERISTIWA ISRA' MI'RAJ

DIALOG HATI