PANDANGAN MAHASISWA HUKUM KELUARGA ISLAM UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG TENTANG KONSEP BA’AH DALAM PERKAWINAN


PANDANGAN MAHASISWA HUKUM KELUARGA ISLAM UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG TENTANG KONSEP BA’AH DALAM PERKAWINAN

Penelitian Kolektif Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum

Dosen Pembimbing: Dr. Sudirman, MA.




Disusun Oleh:
M. Iqbal Mahbub (15210132)
Beni Asri  (15210133)
FiskiyaturRahmah (15210134)
Fina Mawahib (15210141)
Kelas AS ICP


JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018








PANDANGAN MAHASISWA HUKUM KELUARGA ISLAM UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG TENTANG KONSEP BA’AH DALAM PERKAWINAN

Abstrak :
Kesiapan menikah (ba’ah) berkaitan dengan penyesuaian peran dan tugas bagi pasangan yang hendak menikah. Perubahan zaman membuat kesiapan menikah menurut pandangan ahli belum tentu sesuai dengan kesiapan menikah yang dibutuhkan calon pasangan pada saat sekarang ini. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana konsep Ba’ah menurut pandangan mahasiswa Hukum Keluarga Islam. Kemudian memahami bagaimana implikasinya terhadap keharmonisan keluarga. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan studi kasus dengan melalui proses interview. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pernyataan mengenai konsep ba’ah dan implikasinya ini menuai perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pihak laki-laki mayoritas mengungkapkan bahwa konsep kesiapan menikah (Ba’ah) yang terpenting adalah kesiapan finansial, karena nantinya mereka bertanggung jawab dalah hal nafkah keluarga. Sedangkan dari pihak perempuan memiliki pandangan yang beragam. Mayoritas lebih memilih pendidikan, karir, dan keesiapan mental. Untuk akibat dari tidak ada kesiapan menikah, baik laki-laki maupun perempuan memiliki pendapat yang sama, yaitu dampak negatif dalam pernikahan yang dapat berujung pada perceraian.
Kata Kunci : Konsep Ba’ah, keharmonisan keluarga


A. Pendahuluan

Kalimat “siap menikah” saat ini seringkali dijadikan patokan yang dapat mengukur kesiapan menikah seseorang. Fenomena yang terjadi sekarang, laki-laki maupun perempuan, saat hendak melangsungkan pernikahan, hal yang pertama kali akan dipersoalkan adalah masalah kesiapan. Baik itu kesiapan dari segi biologis, finansial, maupun psikologis. Sebagai contoh, ada wanita yang lebih memilih menunda pernikahan dengan alasan untuk melanjutkan pendidikan tinggi dan berkarir. Ada juga laki-laki yang lebih memilih menikah terlebih dahulu kemudian bekerja, dan sebagainya. Dalam artian, kesiapan untuk menikah, atau yang biasanya disebut dengan istilah ba’ah, merupakan suatu aspek tersendiri yang seringkali turut diperhitungkan dalam membuat suatu keputusan mengenai pernikahan.
Kesiapan untuk menikah (Ba’ah) juga dijelaskan dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah bersabda : “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu mampu menafkahi (ba’at) maka hendaklah menikah. Karena nikah itu menjaga pandangan mata, menjaga kesucian kemaluan, dan barangsiapa yang belum mampu menafkahi maka hendaklah berpuasa. Karena sesungguhnya puasa akan menjadi obat bagimu (menghindari nafsu syahwat).” (H.R Muttafaq Alaih)[1]
Menurut Wiryasti, kesiapan menikah merupakan kemampuan individu untuk menyandang peran baru, sebagai suami atau istri dan digambarkan oleh adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, serta sumber finansial dan studi yang telah selesai. Wiryasti juga membagi kemampuan individu untuk menyandang peran baru menjadi 9 bagian, yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, perubahan pada pasangan dan pola hidup, dan latar belakang suku bangsa[2].
Kesiapan menikah juga berkaitan dengan penyesuaian peran dan tugas bagi pasangan yang hendak menikah. Perubahan zaman membuat kesiapan menikah menurut pandangan ahli belum tentu sesuai dengan kesiapan menikah yang dibutuhkan calon pasangan pada saat sekarang ini. Terutama bagi kalangan mahasiswa hukum keluarga islam. Mereka memiliki kompetensi khusus dan pengetahuan mendalam mengenai konsep kesiapan menikah. Setiap harinya mereka dihadapkan oleh persoalan-persoalan seputar rumah tangga, baik itu urusan pra pernikahan, pasca pernikahan, perceraian, dan sebagainya. Mereka diharapkan mampu memberikan penilaian mengenai bagaimana konsep kesiapan menikah dan bagaimana implikasi konsep kesiapan menikah terhadap keharmonisan rumah tangga.
Oleh karenanya, dewasa muda memiliki kemungkinan akan lebih memikirkan dan mencari informasi mengenai kesiapan menikah, akan tetapi sumber informasi mengenai kesiapan menikah masih sangat sedikit. Dengan demikian, penelitian mengenai kesiapan menikah atau yang bisa disebut dengan ba’ah ini masih sangat dibutuhkan. Berdasarkan kajian diatas, artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana konsep kesiapan menikah (ba’ah) menurut perspektif mahasiswa hukum keluarga islam dan bagaimana implikasinya terhadap keharmonisan keluarga.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus dan bertujuan untuk melihat kesiapan calon pasangan suami istri menurut perspektif mahasiswa Hukum Keluarga Islam angkatan 2015 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Populasi dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Hukum Keluarga Islam angkatan 2015 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tahun angkatan 2015. Jumlah responden diambil secara proporsi dari setiap kelas dan teknik penarikan responden diambil secara acak sederhana (simple random sampling). Keseluruhan responden berjumlah 20 orang, diambil dari populasi sebanyak 200 orang
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara terstruktur, dengan panduan wawancara dalam penelitian yang terdiri dari 3 pertanyaan, antara lain :
a.         Rencana Pernikahan
b.        Konsep Ba’ah
c.       Dampak ketika ada dan tidaknya ba’ah dalam perkawinan



C. Kajian Teori
1. Konsep Ba’Ah Dalam Islam dan Pernikahan
Allah ta’ala telah menetapkan kelestarian jenis manusia pada hubungan seksual antara laki laki dan wanita, serta menjadikan pemicunya pada dorongan insting dan syahwat. Hal itu dalam rangka menjaga lestarinya keturunan manusia.
Oleh karenanya, Allah ta’ala mengikat laki laki dan wanita dengan ikatan cinta dan kasih dalam mahligai penikahan agar roda kehidupan senantiasa berjalan dan terus belanjut dari generasi ke geneasi.  Dan dengan pernikahan tersebut mereka mampu memakmurkan bumi dengan anak dan keturunan yang shalih. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.[3]
Dalam pandangan islam, pernikahan merupakan ibadah dan ketaatan yang dengannya seorang mukmin mendapatkan pahala dan balasan. Islam mengangkat kenikmatan biologis kepada derajat keluhuran dan kesucian, mengubah kebiasaan menjadi ibadah dan mengubah syahwat menjadi jalan untuk meraih ridha Allah Ta’ala.
Dan juga pernikahan merupakan sunnah para nabi dan Rasul, mereka telah menikah serta memiliki anak dan keturunan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw,“empat kebiasaan para rasul: pertama, malu. Kedua, memakaiwangi-wangian. Ketiga, menyikat gigi. Keempat, menikah.” (H.R. Ahmad)
Sehingga dengan tujuan dan urgensi pernikahan tersebut, pantas Rasulullah saw memerintahkan kepada para pemuda yang telah ba’ah (yang mampu menanggung beban pernikahan) untuk segera menikah, sebagaimana sabda beliau saw,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ ‏اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ ‏وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa yang mampu menanggung beban pernikahan maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu, maka hendaklah baginya berpuasa, karena sesunguhnya puasa itu adalah perisai baginya” (HR. Bukhari dan Muslim). 
Dalam hadits di atas, Rasul memerintahkan para pemuda yang mampu (ba’ah) agar menikah. Artinya, bagi para pemuda sudah mampu untuk ba’ah, maka saat itulah saat yang tepat baginya untuk meminang (khitbah).
Adapun maksud kata ba’ah dalam hadits di atas, para ulama terkelompokkan dalam dua pendapat. Kedua pendapat itu sebenarnya merujuk kepada satu pengertian yang sama dan terkait satu sama lainnya. Dua pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut.[4]
Pendapat pertama, makna secara bahasa yaitu jimak (bersetubuh). Dan maksud dari hadits itu adalah siapa saja yang mampu bersetubuh karena ia mampu menanggung bebannya, yaitu beban pernikahan, maka hendaklah dia menikah. Sebaliknya, siapa saja yang tidak mampu jimak, karena kelemahannya dalam menanggung bebannya, maka hendaklah berpuasa.
Pendapat kedua, makna ba’ah itu adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan. Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim juz ix/173 ketika menjelaskan makna ba’ah, beliau mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yang fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah, karena siapa yang menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah.
As-Suyuthi dalam Syarah as-Suyuthi li as-Sunan an-nasa’I juz iv/171 juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa tidak dapat dihindari bahwa kata mampu dalam hadits di atas terdapat perbedaan pendapat. Maksud kata mampu yang pertama adalah siapa di antara kalian yang mampu jimak (bersetubuh)-telah baligh dan mampu bersetubuh-hendaklah ia menikah. Sedangkan kata mampu yang kedua “siapa saja yang tidak mampu” yakni tidak mampu menikah (tapi mampu bersetubuh), maka baginya berpuasa”.
Asy-Syaukani dalam Naylu Al-Awthar juz vi/229 juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa maksud kata mampu yang kedua “siapa yang tidak mampu menikah” adalah tidak mampu menikah karena sedikitnya kemampuan menanggung beban-beban pernikahan dan karena kekurangan dalam bersetubuh, maka baginya berpuasa.
Sementara dalam hadits lain yang redaksinya kurang lebih sama, yang diriwayatkan an-Nasa’i, Ahmad, al-Bazar, dan riwayat ath-Thabrani, Rasul mendorong siapa saja yang mampu menyiapkan atau yang memiliki thawl agar menikah. As-Sinadi dalam Hasyiyah as-sinadi juz vi/57 menjelaskan bahwa at-thawl maknanya adalah kemampuan untuk membayar mahar dan kemampuan untuk menunaikan nafkah.
Makna “mampu menafkahi” ini sejalan atau memperkuat makna al-ba’ah sebagai beban pernikahan. Sehingga dapat kita pahami bahwa Rasul Saw memerintahkan kepada siapa saja yang memiliki kesanggupan untuk menikah dan memikul beban pernikahan, maka hendaknya ia menikah. Atau siapa saja yang memiliki rasa percaya diri atau memiliki dugaan kuat bahwa dirinya mampu memikul tanggung jawab pernikahan maka hendaknya ia menikah.

2. Konsep Keharmonisan Keluarga
Keluarga harmonis dalam perspektif Al-Qur’an adalah keluarga yang memiliki mahabbah, mawaddah, rahmah, dan amanah. Menurut M. Quraish Shihab kata sakinah terambil dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna ketenangan atau antonim dari kegoncangan dan pergerakan. Misalnya, rumah dinamai maskan karena ia adalah tempat untuk meraih ketenangan setelah penghuninya bergerak bahkan mungkin mengalami kegoncangan di luar rumah.[5]
Keluarga harmonis merupakan bentuk keluarga yang sangat diidamkan oleh semua orang. Keluarga harmonis merupakan keluarga yang mampu menjaga cinta kasih setiap anggota keluarga dan mampu melahirkan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan. Indikator keluarga dikatakan harmmonis adalah ketika keluarga tersebut sudah memenuhi fungsinya.
Djudju Sudjana mengemukakan tujuh macam fungsi keluarga, Adapun fungsi-fungsi tersebut adalah:[6]
a.       Fungsi Biologis, perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agar memperoleh keturunan, dapat memelihara kehormatan, serta martabat manusia sebagai makhluk yang berakal dan beradab. Fungsi biologis inilah yang membedakan perkawinan manusia dengan binatang, sebab fungsi ini diatur dalam suatu norma perkawinan yang diakui bersama.
b.      Fungsi edukatif, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi setiap anggotanya, dimana peran orang tua sangat penting dalam mencetak anak menjadi pribadi yang mandiri, dewasa jasmani dan rohani. Fungsi edukatif ini memberikan peran keluarga sebagai pihak yang mempunyai kewajiban untuk pengembangan aspek mental spiritual, moral, intelektual, dan professional.
c.       Fungsi religius, Keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral agama, melalui pemahaman, penyadaran, dan praktik dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta nuansa keagamaan dalam kehidupan keluarga.
d.   Fungsi Protektif, keluarga menjadi tempat yang aman dari gangguan internal maupun eksternal. Gangguan internal terjadi karena adanya perbedaan karakter, pendapat, dan kepentingan setiap anggota keluarga. Adapun untuk gangguan eksternal terjadi karena pengaruh dari masyarakat.
e.    Fungsi Sosialisasi, keluarga merupakan tempat untuk mempersiapkan anggota keluarga menjadi bagian dari masyarakat yang baik, mampu memegang norma-norma kehidupan secara universal baik interelasi dari keluarga itu sendiri maupun dalam menyikapi masyarakat yang pluralistik.
f.     Fungsi Rekreatif, keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kebahagiaan bagi anggota keluarganya. Keluarga juga menjadi tempat untuk melepaskan semua lelah dari berbagai aktifitas masing-masing anggota. Fungsi rekreatif ini dapat menciptakan suasana keluarga yang menyenangkan, saling menghargai, menghormati, dan saling menghibur sehingga tercipta hubungan yang harmonis.
g.    Fungsi Ekonomis, Keluarga merupakan kesatuan ekonomis di mana keluarga memiliki aktivitas mencari nafkah, memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikannya secara adil dan proporsional, serta dapat mempertanggungjawabkannya secara sosial dan moral.
Tujuh fungsi keluarga tersebut menunjukkan bahwa keluarga memiliki fungsi yang vital dalam membentuk individu. Oleh karena itu fungsi-fungsi tersebut harus terpenuhi, karena jika ada salah satu fungsi saja yang tidak terpenuhi akan terjadi ketidak harmonisan dalam keluarga.

D. Hasil dan Pembahasan
a.       Pembahasan
Menikah bukanlah perkara mudah karena menikah tidak hanya membangun cinta dan di dalamnya bukan hanya terdapat kesenangan-kesenangan karena telah menjalani hubungan yang sah menurut agama. Demi mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah, islam menetapkan suatu konsep yang disebut ba'ah, yaitu kemanpuan dalam menikah. Persiapan nikah adalah salah satu hal yang penting untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan dan mencakup beberapa aspek diantaranya adalah persiapan calon mempelai, persiapan hukum dan syariah serta persiapan anggaran yang dibutuhkan.
1.      Kesiapan menikah
Demi mengetahui kesiapan mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang angkatan 2015 dalam menikah, maka peneliti mewawancarai berbagai responden terkait dengan kapan responden ingin melangsungkan pernikahan. Mayoritas dari responden laki-laki memilih untuk menikah ketika mereka telah memiliki pekerjaan dan berpenghasilan (karir) dari pada meneruskan pendidikan. Menurut mereka, memiliki pekerjaan dan memiliki penghasilan tetap lebih penting ketimbang meneruskan jenjang pendidikan mereka ke tingkat yang lebih tinggi, karena menurut mereka pendidikan bisa diteruskan kapan saja tanpa kenal batas usia, sedangkan pekerjaan adalah suatu yang tidak pasti dan tidak bisa menunggu.
Persaingan dalam dunia kerja semakin hari semakin ketat saja sedang dunia pendidikan bisa diteruskan kapan saja, selain itu bila meneruskan pendidikan belum tentu bisa mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan tetap karena kurangnya pengalaman kerja. Pengalaman kerja merupakan salah satu bahan pertanyaan ketika interview pekerjaan, dan akan menjadi nilai plus bila sudah memilikinya dan hal tersebut tidak bisa terwujud bila lebih mendahulukan pendidikan meski ada pekerjaan yang mempertimbangkan jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh seperti dosen, tetapi umunya pekerjaan tidak seperti itu bagi mereka.
Sebagai contoh, seperti penyataan responden kami yang bernama Ade mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang angkatan 2015:
“Pendidikan bisa menunggu mas, kalo sudah punya pekerjaan dan penghasilan sendiri tinggal milih ingin meneruskan pendidikan dimana, sampai jenjang apa dan yang paling penting tidak lagi merepotkan orang tua masalah biaya”[7].
      Berbeda dengan responden dari pihak laki-laki, hasil wawancara peneliti dengan responden dari pihak perempuan mempunyai beragam jawaban, dari mereka ada yang memilih setelah terselesaikan tujuan mereka seperti khatam Al-Quran, pendidikan S2, dan lain sebagainya. Selain itu ada yang pasif siap tidak siap bila sudah ada yang melamar harus siap, da nada yang berpatokan pada tahun. Dalam hal ini menunjukan perempuan tidak memiliki patokan global seperti para laki-laki dalam menentukan kapan mereka ingin menikah. Di sinilah perbedaan antara perempuan dan laki-laki.
Seperti yang dikatakan salah satu responden perempuan kami yang bernama Maimunah, mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang angkatan 2015 yang tidak tergantung pada pendidikan:
“Kalo masalah kapan pengen nikah sih, mau itu udah lulus S1, S2 ini itu, ya tetap klo misalkan calonnya sudah ada tunggu apalagi, apalagi kalau calonnya sudah punya pekerjaan, dan siap dalam segala hal untuk membangun rumah tangga”[8].
 Kebalikan dari itu, responden perempuan kami yang bernama Minhah mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang angkatan 2015 yang lebih memilih untuk menyelesaikan goalnya yaitu Khatam Al-Quran 30 juz:
“Aku punya mimpi dan goal, jadi aku harus mewujudkan itu semua. Perihal kalau ada yang melamarku sebelum semua itu terwujud, silahkan tunggu aku bila sang calon bisa bersabar”[9].
2.      Konsep siap menurut Responden
Konsep siap menurut responden yang kami wawancarai dari pihak laki-laki mayoritas memiliki satu jawaban sebagai patokan yaitu siap dalam hal finansial. Karena menurut mereka menikah adalah masalah tanggung jawab yang mereka emban, maka dari itu kesiapan dalah hal finansial merupakan hal terpenting sebelum hal yang lain.
Salah satu responden laki-laki yang kami wawancarai bernama Ibnu Iyadh mengatakan hal sebagai berikut:
“Menurutku, siap itu klo sudah punya modal nikah, mahar, dan pekerjaan pastinya. Karena kalau cuman modal siap tanpa itu semua berarti banyak menyusahkan orang tua dan itu bukan konsep siap menurut saya. Bikin malu, bikin rendah harga diri sebagai calon kepala rumah tangga”[10].
Masih berbeda dengan responden laki-laki, responden perempuan yang kami wawancarai memiliki banyak pendapat yang kebanyakan dari mereka ada yang lebih mengedepankan selesainya pendidikan mereka, dan kebanyakan lainnya siap fisik, mental, dan financial. Dan sebagian lainnya bisa mengurus kelemahan mereka yang emosinya masih belum stabil dalam menghadapi sesuatu.
Menurut Zahro mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang angkatan 2015, konsep siap adalah sikap, sifat, dan pergaulan.
“ ya kita bisa lihat dari sikapnya, sifatnya, dan pergaulannya. Kalau dia sudah dewasa dalam menyikapi masalah, berarti dia siap untuk menikah. Dan kalau sudah bisa mengurus diri sendiri menurutku itu sudah siap”[11].
Dan yang lainnya berpendapat bahwa konsep siap menurut mereka adalah yang  dewasa dan umur mereka sudah sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang-undang.
3.      Akibat menikah tanpa kesiapan
Dalam hal akibat yang ditimbulkan dari menikah tanpa adanya kesiapan, peneliti mendapat jawaban yang cenderung satu pikiran antara responden laki-laki dan responden perempuan. Bagi responden laki-laki menikah tanpa adanya kesiapan merupakan bala yang dipersiapkan, karena kebanyakan berpotensi kepada komunikasi yang tidak lancer dan menimbulkan pertengkaran yang pada akhirnya menimbulkan masalah yang lebih besar yaitu perceraian, dalam hal ini responden perempuan yang peneliti wawancarai tidak mengingkari hal tersebut.
Salah satu responden laki-laki kami yang bernama Sudono, mahasiswa  Hukum Keluarga Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang angkatan 2015 mengatakan bahwa tanpa kesiapan bisa mengakibatkan  perceraian, pertengkaran, dan tidak bisa saling memahami.
” kalo ngak siap mesti banyak masalah, tengkarlah, marah-marah lah, ujung-ujungnya ngak serasi dan cerai..mesti ngunu”[12].
Dan hal serupa dikatakan oleh salah satu responden perempuan kami yang bernama Nela, mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang angkatan 2015.
“ kalo ngak siap, mending tunda dulu, soalnya bikin masalah ntar kedepannya. Ujung-ujungnya cerai dengan dalih udah ngak cocok..haduh”[13].
Dari semua responden baik itu dari pihak laki-laki maupun perempuan sepakat bahwa menikah tanpa kesiapan bisa menimbulkan masalah yang besar dan kemudian berujung pada perceraian.

E. Analisis
1. Analisis Berdasarkan Konsep Ba’ah
Konsep Siap Responden
Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa kesiapan itu adalah jika siap secara materi. Artinya ia sudah memiliki materi untuk membiayai pernikahannya dan sudah memiliki pekerjaan yang tetap. Orang yang memiliki anggapan demikian, hanya akan menikah kalau merasa sudah cukup secara materi. Anggapan mengenai kecukupan materi seperti itu memang baik. Yang kurang tepat adalah penempatannya. Yaitu bahwa jika belum memiliki pekerjaan yang mapan, belum punya ini dan itu, lalu tidak menikah. Ini adalah penempatan yang kurang tepat. Memang akan sangat baik jika seseorang ketika menikah memiliki persiapan materi yang cukup, sudah punya pekerjaan atau sumber penghasilan yang mapan. Namun tidak harus seperti itu.
Dalil-dalil yang ada juga menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kesiapan untuk menikah bukanlah demikian. Bukan berarti seseorang itu harus memiliki persiapan materi yang mapan. Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa sahabat tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar, atau kalaupun ada, jumlah atau nilainya sangat kecil. Tidak ada atau sangat sedikitnya harta yang dijadikan mahar oleh para sahabat mengindikasikan bahwa para sahabat memang tidak memiliki harta (yang berlebih). Sekalipun demikian, para sahabat tetap dianjurkan menikah dan dibolehkan menikah. Dengan demikian, kesiapan yang dimaksud bukan berarti harus kesiapan materi atau harta yang cukup.
Kesiapan yang harus dimiliki seseorang adalah kesiapan mental dan ruhiyah untuk menanggung beban dan tanggung jawab pernikahan. Artinya secara mental, ia sudah siap menjalani kehidupan rumah tangga dengan segala konsekuensinya.
Lalu bagaimana kita bisa mengenali seseorang telah mampu atau siap untuk menikah?
Kita hanya akan dapat mengenali dan mengetahui yang zahir saja. Sementara kesiapan mental lebih bersifat batin yang ada di dalam hati. Jika kita melihat secara zahir telah siap yakni dari penampakan kesiapan yang bersifat lahiriah, seperti kesiapan materi dan nafkah serta kesiapan lahiriah lainnya, maka dari sini kita bisa katakan bahwa seseorang itu telah siap menikah. Selanjutnya, kita perlu mengenali kesiapan mental dan ruhiyahnya. Hal itu bisa kita analisa dari penampakan lahiriahnya. Misalnya dari segi kedewasaan dan kematangan berpikirnya.
Ketika ingin menikah yang muncul bukan hanya sekedar “ingin” tapi keinginan kuat (al azmu) untuk menikah. Karena al-azm menurut al Jurjani dalam at-Ta’rifat adalah keinginan yang kuat  tanpa ada keraguan. Jadi seseorang harus sudah memiliki azam untuk menikah, barulah ia melakukan proses khitbah.
Konsep mampu untuk menikah menurut responden yang sudah kami wawancarai dari pihak laki-laki mayoritas responden menjawab konsep mampu untuk menikah dalam pandangan mereka yaitu kesiapan materi atau kemampuan finansial.
Tidak mempunyai banyak materi dengan tidak mempunyai materi yang cukup untuk menjalani kehidupan pernikahan adalah dua hal yang berdeda. Banyak materi tentunya ukurannya menjadi sangat relative untuk setiap orang.
Kesiapan finansial dalam menjalani pernikahan adalah salah satu syarat yang penting sebelum memutuskan untuk menikah dengan pasangan. Bukan sekadar kesiapan finansial untuk mengadakan acara pernikahannya namun justru kesiapan finansial untuk menjalani hidup pernikahan itu sendiri, seperti tempat tinggal, kebutuhan rumah tangga harian hingga bulanan, termasuk kebutuhan uang untuk Pendidikan dan masa depan anak.
Pernikahan adalah awal gerbang seseorang menuju kehidupan hakikinya, seseorang menjalani kehidupan Bersama pasangannya dan mengemban tanggungjawab kerumahtanggaan sebagai bentuk konsekuensi dalam kehidupan rumah tangga, hal ini sejalan dengan pertimbangan para responden dalam menjawab pertanyaan peneliti. Sebagian besar mereka menjawab bahwa hal terpenting yang harus disiapkan untuk menjalani kehidupan pernikahan adalah dengan mempersiapkan kemampuan materi sebagai kebutuhan primer dalam menjalani kehidupan.
Kemudian berbeda dengan jawaban responden kita dari pihak perempuan, mereka lebih mempersiapkan kemampuan mental dalam menjalani kehidupan pernikahan. Sebagian mereka juga menjawab bahwa konsep mampu dalam pernikahan adalah yang dewasa dan kematangan umur. Artinya perempuan lebih cenderung ingin lebih menyiapkan mentalitas baik dalam segi psikis maupun biologis.
2. Akibat Ketidaksiapan Dalam Pernikahan
Salah satu yang dikhawatirkan adalah, dalam ajakan nikah kurang persiapan yang disampaikan kebanyakan sesuatu yang mudah, indah dan manis. Padahal ada hal lain dari pernikahan, mulai dari kesehatan reproduksi, mengurus rumah tangga, hingga mengasuh anak. Hal-hal itu sering tidak masuk perhitungan. “Misalnya, kalau (melahirkan) di bawah usia 20 tahun, resiko kematian ibu bisa 5 sampai 7 kali lebih besar karena ketidaksiapan organ reproduksinya,” kata dia. Sementara dalam hal tanggungjawab terhadap anak, mereka yang belum siap secara pekerjaan dan penghasilan karena baru lulus sekolah, dikhawatirkan akan mengalami kesulitan ekonomi, dan itu berdampak buruk pada pengasuhan anak. "Ada risiko anak-anak mereka tidak terurus karena pekerjaan yang dimiliki orangtua tidak mendukung. Pada akhirnya, mereka akan kembali pada orangtua atau mertua, bukan membangun rumah tangga sendiri,"
Kemudian para responden juga menjelaskan betapa pentingnya kesiapan atau kemampuan dalam menjalani sebuah pernikahan, baik secara finansial.mental dan lain sebagainya. Kebahagiaan perjalanan kehidupan rumah tangga dapat kita lihat dari seberapa siap persiapan kedua calon pengantin.
Pasalnya dalam berbagai hubungan, masalah uang dan harta adalah hal paling sensitif, apalagi dengan pasangan. Siap menikah dengannya? Berarti harus menyiapkan diri dulu dengan kondisi keuangan yang mungkin akan dihadapi berdua. Berbicara tentang masalah keuangan seperti membicarakan borok yang akan dibuka selapis demi selapis karena tingkat sensitivitas masing-masing orang berbeda.
Oleh karena itu calon pengantin juga harus mulai berpikir dengan tepat langkah-langkah keuangan yang akan diambil sebelum, saat, dan setelah menikah. Sasalh satu contoh misalnya apakah berdua akan hidup di rumah sendiri atau menemani orang tua?. Atau apakah ingin membeli kendaraan atau berinvestasi pada asuransi kesehatan ketika membelanjakan keperluan pokok setiap bulan?. Tentu hal tersebut akan lebih baik untuk melakukan konsultasi dari para ahli di bidangnya.
Dengan demikian kemampuan dalam menjalani kehidupan rumah tangga menjadi aspek penting dalam merajut kehifupan rumah yang di dambakan.
2. Analisis Berdasarkan Konsep Keharmonisan Keluarga
Hasil wawancara dari responden jika dikaitkan dengan kajian konsep tentang keluarga harmonis, maka keduanya memang sangat mempengaruhi. Dalam penelitian ini mengambil beberapa responden yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Memang jawaban dari para responden berbeda, namun inti dari jawaban responden mengarah kepada tujuan perkawinan yang harmonis.
Menurut mayoritas responden laki-laki, kesiapan mereka untuk menikah ketika sudah mapan dalam masalah finansial, hal ini sungguh wajar karena peran laki-laki dalam keluarga merupakan penanggungjawab nafkah untuk setiap anggotanya. Kesiapan finansial ini untuk memenuhi fungsi ekonomis dalam keluarga.
Kesiapan biologis juga merupakan ukuran seseorang dikatakan siap menikah. Responden berpendapat, orang yang belum mampu merawat dirinya dengan baik, maka orang tersebut belum dapat dikatakan sudah siap dalam menjalani perkawinan. Karena perkawinan menuntut seseorang agar mampu merawat dirinya sendiri dan orang lain. Kesiapan biologis ini, dalam fungsi keluarga masuk dalam kategori fungsi biologis. Menurut Effendi, fungsi biologis meliputi fungsi untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memelihara dan merawat anggota keluarga, serta memenuhi kebutuhan gizi keluarga.[14]
Kategori kesiapan menikah selanjutnya, yaitu kesiapan mental. Kesiapan mental ini dapat dilihat dari sikap seseorang dalam mengatur emosionalnya. Kesiapan mental ini untuk memenuhi fungsi protektif dan rekreatif. Dengan adanya mental yang mapan, dapat melindungi anggota kelurganya dari gangguan negtif baik dari internal maupun eksternal. Selain itu, kesiapan mental juga sebagai fungsi rekreatif. Karena semakin seseorang memiliki pemikiran yang dewasa, maka dia dapat menjadi tempat curhat yang baik untuk anggota keluarganya, dan mampu menciptakan kehhidupan rumah tangga yang saling menghormati dan menyayangi.
Hasil dari wawancara responden juga menghasilkan aspek pendidikan sebagai ukuran seseorang siap untuk menikah. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula kesiapan mereka untuk membangun rumah tangga. Karena keluarga sebagai fungsi edukatif, membutuhkan anggota keluarga yang berpendidikan agar mampu mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk setiap anggota keluarga. Keluarga juga mempunyai fungsi sosialisasi, di mana sosialisasi ini membutuhkan pendidikan formal dan non formal agar sosialisasi dapt berjalan dengan baik. Dengan pendidikan, keluarga mampu menjadikan anggota keluarganya sebagai masyarakat yang bermoral dan beradab.
Ukuran terpenting yang sangat menjadi prioritas responden adalah agama. Pemahaman agama menjadi ukuran seseorang sudah siap menikah. Seorang suami sebagai pemimpin keluarga dan seorang isteri sebagai madrasah ula bagi anak-anaknya, menuntut seseorang agar memahami agama secara mendalam. Dari kemantapan agama ini dapat memenuhi fungsi religius dalam keluarga dan menjadikan kehidupan keluarga berjalan dengan harmonis serta bernuansa agamis.
Adapun ciri-ciri keluarga harmonis adalah keluarga yang mempunyai spiritual tingggi, keluarga yang mempunyai hubungan baik antar anggota keluarga ataupun dengan masyarakat, keluarga yang pandai bersyukur, dan terwujudnya kesejahteraan ekonomi.[15]
Adapun akibat perkawinan yang tidak dibekali dengan kesiapan yang matang, perkawinan tersebut tidak menjadi harmonis, saling mengedepankan ego masing-masing, dan akibat yang paling fatal adalah perceraian.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Konsep siap menurut responden yang kami wawancarai dari pihak laki-laki mayoritas memiliki satu jawaban sebagai patokan yaitu siap dalam hal finansial. Karena menurut mereka menikah adalah masalah tanggung jawab yang mereka emban, maka dari itu kesiapan dalah hal finansial merupakan hal terpenting sebelum hal yang lain. Sedangkan responden dari pihak perempuan, mereka lebih mempersiapkan kemampuan mental dalam menjalani kehidupan pernikahan.Artinya perempuan lebih cenderung ingin lebih menyiapkan mentalitas baik dalam segi psikis maupun biologis.
2. Pihak laki-laki maupun perempuan sepakat bahwa menikah tanpa kesiapan bisa menimbulkan masalah yang besar dan kemudian berujung pada perceraian. Artinya, menikah tanpa adanya kesiapan merupakan bala yang dipersiapkan, karena kebanyakan berpotensi kepada komunikasi yang tidak lancer dan menimbulkan pertengkaran yang pada akhirnya menimbulkan masalah yang lebih besar yaitu perceraian,




Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al-Karim
Abdurrahman,Yahya. Risalah khitbah. Al-Azhar press, 2007
Al-Asqalani,Ibnu Hajar. Al-Kitab Bulughul Maraam Min Adillatil Ahkam. (Mesir: Daarul Nasyar,852H)
Baihaqy,Ahmad Rafie. Membangun Surga Rumah Tangga. (Surabaya: Gita Media Press, 2006)
Maryam,Siti. "Peer Group dan Aktivitas Harian Belajar Pengaruhnya terhadap Prestasi (Belajar) Remaja". Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 058. Vol   12. Januari 2006
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. (Malang: UIN MALIKI PRESS, 2013)
Usman, Husaini dan Purnama Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial. (Jakarta: Bumi Aksara, 2000)
Wiryasti. "Modifikasi dan Validiitas dan Realibitas Inventori Kesiapan Menikah", Tesis Magister . (Jakarta : Universitas Indonesia, 2004)









[1]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Kitab Bulughul Maraam Min Adillatil Ahkam, (Mesir : Daarul Nasyar), 852H, 773.
[2]Wiryasti, Modifikasi dan Validiitas dan Realibitas Inventori Kesiapan Menikah, Tesis Magister (Jakarta : Universitas Indonesia, 2004)
[3]Al-qur’an surat Ar-rum ayat 20-21
[4]Yahya Abdurrahman, Risalah khitbah(Al-Azhar press;2007)h.112
[5] M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 136
[6] Mufidah, Psikologi  Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2013), h. 42
[7] Ade, wawancara, (UIN Malang: Malang, 01 Mei 2018)
[8] Maimunah, wawancara, (UIN Malang: Malang, 01 Mei 2018)
[9] Mienchah Al Hasna, wawancara, (UIN Malang: Malang, 01 Mei 2018)
[10] Ibnu Iyadh, wawancara, (UIN Malang: Malang, 04 Mei 2018)
[11] Zahrotul ‘Aini, wawancara, (UIN Malang: Malang, 03 Mei 2018)
[12] Sudono, wawancara, (UIN Malang: Malang, 04 Mei 2018)
[13] Nela Zulfa, wawancara, (UIN Malang: Malang, 09 Mei 2018)
[14] Siti Maryam, “Peer Group dan Aktivitas Harian Belajar Pengaruhnya terhadap Prestasi (Belajar) Remaja”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 058, Vol 12, (Januari 2006), h. 71
[15] Ahmad  Rafie Baihaqy, Membangun Surga Rumah Tangga (Surabaya: Gita Media Press, 2006), h. 56
 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGUCAPAN SELAMAT HARI NATAL BAGI UMAT MUSLIM, IKUT ARUS ATAU TETAP MELAWAN ARUS?

RENUNGAN PERISTIWA ISRA' MI'RAJ

DIALOG HATI