POLA ASUH YANG BENAR SEBAGAI CARA PENCEGAHAN KORUPSI
POLA ASUH YANG BENAR SEBAGAI CARA PENCEGAHAN KORUPSI
Oleh: Fina Mawahib
Korupsi termasuk masalah paling krusial yang sedang dihadapi oleh negara dan bangsa Indonesia. Korupsi yang didefinisikan oleh World Bank dan UNDP adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.[1]
Oleh: Fina Mawahib
Korupsi termasuk masalah paling krusial yang sedang dihadapi oleh negara dan bangsa Indonesia. Korupsi yang didefinisikan oleh World Bank dan UNDP adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.[1]
Pelaku tindak pidana korupsi tidak dibiarkan
begitu saja oleh negara, siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi akan
dihukum, sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20(dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Tindak pidana korupsi sudah sering dilakukan
dari tingkat bawah, seperti memberikan uang pelicin ketika ingin membuat Surat
Izin Mengemudi sampai ke korupsi besar-besaran seperti penyelewengan aliran
dana E-KTP yang diduga menyebabkan kerugian negara yang mencapai 2.3 Triliun.
Dampak korupsi E-KTP ini bukan hanya menyoal kerugian negara tetapi dampak dari
kasus tersebut juga merusak marwah legislatif dan ekekutif, lebih jauh dari itu
dampak kasus korupsi E-KTP juga menyimpang dari nilai- nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Kejadian ini semakin mempertegas bahwa praktik korupsi sudah
menjadi budaya dalam kehidupan masyarkat Indonesia.
Terjadinya kasus korupsi karena adanya
kekuasaan dan kesempatan yang ada di depan mata. Seperti yang sering terjadi di
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif di Indonesia. Contoh
penyalahgunaan dana di lembaga legislatif adalah yang dilakukan oleh beberapa
anggota DPR dalam kasus suap pertambangan di Kabupaten Tanah Laut, Kalimatan
Selatan dan suap proyek pembangunan tenaga listrik di Papua. Banyak pula kasus korupsi
dari pihak anggota eksekutif seperti, tindak
pidana korupsi kasus
suap pembahasan revisi Peraturan Daerah (Perda) PON dan melakukan korupsi
terkait dengan penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman
(IUPHHK-HT) di Kabupaten Pelalawan, Riau yang dilakukan oleh Rusli Zainal (mantan Gubernur Riau), dan kasus penyelewengan pos anggaran daerah pada tahun 2007
yang dilakukan oleh Sjachriel
Darham (mantan Gubernur Kalimantan Selatan). Sedangkan korupsi yang dilakukan
oleh anggota yudikatif, seperti penangkapan hakim ad hoc di Bandung, Imas
Dianasari, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari
kasus-kasus ini dapat disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya
dan harus segera ditangani. Degradasi moral yang terjadi di Indonesia harus
ditransformasikan dengan merevolusi mental generasi bangsa. Penanganan dapat di
tangani melalui institusi terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga. Keluarga
mempunyai fungsi edukatif karena keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua
anggotanya dimana orang tua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa
anak menuju kedewasaan dan ruhani dalam dimensi kognisi, afektif maupun skill,
dengan tujuan untuk mengembangkan aspek mental spiritual, moral, intelektual,
dan professional. Fungsi edukatif ini merupakan bentuk penjagaan hak dasar
manusia dalam memelihara dan mengembangkan potensi akalnya. Pendidikan keluarga
sekarang ini pada umumnya telah mengikuti pola keluarga demokratis dimana tidak
dipilah-pilah siapa belajar kepada siapa.[2]
Dengan fungsi edukatif ini keluarga mempunyai tugas memberikan pola asuh kepada
anak agar anak tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter.
Dalam proses penanaman karakter, pola asuh
sangat berperan penting dalam hal ini. Secara etimologi, pengasuhan berasal
dari kata “asuh” yang artinya pemimpin, pembimbing, sehingga pengasuh adalah
orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Pengasuhan
yang dimaksud disini adalah mengasuh anak. Mengasuh anak adalah mendidik dan
memelihara anak, seperti mengurus makannya, minumnya, pakaiannya dan
keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian
tersebut, dapat dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah
kepemimpinan dan bimbingan yang dilakukan terhadap anak yang berkaitan dengan
kepentingan hidupnya.[3]
Pola asuh yang berjalan dalam keluarga
mempunyai peran penting dalam perkembangan kepribadian anak. Pola asuh yang
baik akan mencetak anak menjadi baik dan pola asuh yang salah akan mencetak
anak menjadi pribadi yang salah. Banyak dampak yang terjadi karena kesalahan
pola asuh, seperti suka berbohong, mengkonsumsi narkoba, mencuri, melakukan
tindak kekerasan kepada orang lain, dan free sex.
Penyimpangan-penyimpangan ini terjadi karena beberapa faktor seperti kurangnya
perhatian orang tua terhadap anak, orang tua selalu mengekang minat dan bakat
anak, atau pola asuh yang mengajarkan kekerasan sehingga pola asuh yang salah
tersebut mempengaruhi kesalahan pola pikir anak. Ketika anak dewasa, anak sudah
mempunyai kebiasaan melakukan hal yang menyimpang dan tentunya tindak pidana
korupsi menurut mereka bukanlah hal yang salah. Namun, dengan pola asuh yang
baik maka akan mencetak anak yang berkepribadian baik. Karena dari usia dini
diajarkan dan dibiasakan tidak melakukan penyimpangan, maka kelak jika anak
tumbuh menjadi dewasa tidak akan tertarik dengan tindakan korupsi, karena nilai
karakter yang ada di dalam dirinya sudah sangat kuat.
Indonesia
memiliki pemimpin-pemimpin bersih yang keberadaannya selalu dikenang namun
sifat integritasnya mulai dilupakan oleh bangsa Indonesia. Seperti Bung Hatta
sosok yang dibesarkan dengan berpegang teguh kepada agama dan adat. Gus Dur
yang dilahirkan di lingkungan keluarga yang sangat mendukung bakat dan minatnya
sehingga Gus Dur bebas mengekspresikan pemikiran-pemikirannya dan menjadi
pribadi yang produktif. Dan Habibie merupakan tokoh yang membanggakan Indonesia
yang mempunyai integritas yang tinggi dalam kepribadiannya. Habibie dibesarkan
oleh orang tua yang selalu memberikan motivasi dalam mencapai cita-cita, dan
selalu menguatkan spiritualitas serta kedisiplinan. Pola asuh yang benar yang ditanamkan dalam lingkungan keluarga lah yang menjadikan Bung Hatta, Gus Dur, dan Habibie menjadi pemimpin yang berintegritas dan akhirnya dalam memimpin negara mereka tidak memiskinkan negara dan bangsa Indonesia.
[1]
Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009) h. 6
[2] Mufidah, Psikologi
Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2013), h. 42
[3]
Irma Khairsyah Riati, PENGARUH POLA
ASUH ORANG TUA TERHADAP KARAKTER ANAK USIA DINI, Infantia,
Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016
Komentar
Posting Komentar